BACA BERITA

AS-Tiongkok Diharap Tak Lagi Saling Balas Tarif di Era Trump 2.0

Author: matauang Category: Keuangan
Chief of Economist Bank Central Asia (BCA) David Sumual berharap situasi ketidakpastian ekonomi global akibat terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) tidak seperti saat era Trump 1.0 (2016-2020).

"Di mana saat itu cukup lama ya ketidakpastiannya, satu-dua tahun. Kita lihat juga emerging market currency itu juga relatif melemah ketika itu dan juga mata uang yuan juga sengaja tanda kutip diperlemah oleh Tiongkok ketika itu dan terjadi 'tit for tat' ini di mana Amerika menaikan tarif dibalas lagi oleh Tiongkok dan seterusnya," ucap David di acara Talk Show Mini Studio BCA Expoversary 2025, dikutip Minggu, 23 Februari 2025.

Oleh karena itu, dirinya berharap di era kepemimpinan Trump 2.0, proses 'tit for tat' yang sempat terjadi pada masa lalu tidak kembali terulang. "Dan pada akhirnya mereka bisa deal dari sisi kebijakan perdagangan maupun investasinya dari kedua belah pihak," ucap David.

Namun, untuk saat ini, David melihat pada semester I-2025 masih dipenuhi dengan ketidakpastian global. Selain itu, ia menilai saat ini pasar akan bergerak sesuai dengan kabar yang muncul.

"Jadi contoh dua minggu lalu, Trump mengatakan di hari Sabtu ya, dua minggu lalu itu dia akan menerapkan 25 persen tarif untuk Meksiko dan Kanada. Tapi beberapa hari kemudian, saya tidak tahu Trump malamnya mimpi apa, di-cancel, hanya 10 persen. Jadi untuk Tiongkok yang lainnya ditunda selama satu bulan," paparnya.

"Kebijakan-kebijakan yang sifatnya berubah-ubah ini tentunya akan membuat pasarnya juga akan bergerak cukup volatile. Dan ini salah satu isu yang pasti akan diikuti terus oleh pasar karena dampak ke sektor riilnya akan cukup besar," tambah David.

Indonesia ikut terdampak


Berkaca dari hal tersebut, David menilai Indonesia sendiri tidak bisa terlepas dari kondisi ekonomi global yang ada. "Jadi kenapa sekarang juga kelihatan kebanyakan juga market sedikit switching ya ke fixed asset salah satunya ataupun coba mengamankan mungkin profitnya sementara waktu, cari yang lebih safe haven, ini juga ada kaitannya dengan itu," imbuhnya.

"Dan selama deal-nya belum tercapai artinya juga pertumbuhan ekonomi globalnya masih belum akan pulih, masih relatively flat dan kita berharap sebenarnya ada terobosan-terobosan juga dari sisi kebijakan di dalam negeri juga," sambung dia.

Di kesempatan yang sama, Head of Research BCA Sekuritas Andre Benas melihat Tiongkok juga cukup berbeda dengan kondisi mereka pada 2016-2018 gitu.

"Kalau melihat dari news flow yang ada dan juga dari saya tonton dulu Pak, press conference dari Kementerian Luar Negeri di Tiongkok memang tahun ini kelihatannya mereka lebih calm ya. Mereka sudah lebih prepare terhadap trade war yang mungkin akan dilancarkan oleh Amerika Serikat," sebut dia.