BACA BERITA

Bamsoet: UU Kesejahteraan Lansia perlu direvisi karena zaman berubah

Author: matauang Category: Politik
Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo meminta DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU Kesejahteraan Lansia) karena realitas zaman yang telah berubah.

"UU yang telah berumur 27 tahun tersebut, dibuat ketika struktur keluarga masih relatif tradisional dan ketergantungan pada solidaritas komunitas masih tinggi. Saat ini realitas telah berubah," kata Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Hal itu disampaikannya saat menerima Pengurus Badan Perlindungan Lanjut Usia Indonesia (BP Lansia) di Jakarta hari ini.

Dia mengatakan bahwa kelompok lansia semakin terpinggirkan karena faktor urbanisasi, meningkatnya biaya hidup, menurunnya fungsi keluarga sebagai institusi perawatan, serta perkembangan teknologi yang eksklusi terhadap kelompok usia tua.

Dia lantas menuturkan data Badan Pusat Statistik yang mencatat bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia telah mencapai 11,75 persen dari total populasi pada tahun 2023 atau sekitar 32,5 juta jiwa. Angka tersebut diperkirakan terus bertumbuh hingga mencapai 20 persen pada tahun 2045.

Menurut dia, UU Kesejahteraan Lansia yang menetapkan bahwa lansia berhak atas penghormatan, perlindungan, dan pelayanan sosial, tidak memberikan mekanisme implementasi yang kuat dan terukur.

"Tidak ada pasal yang secara rinci mengatur standar layanan kesehatan lansia, bantuan perawatan jangka panjang, perlindungan terhadap kekerasan berbasis usia, atau skema insentif bagi keluarga yang merawat lansia di rumah," ujarnya.

Mantan Ketua MPR dan DPR itu pun memaparkan ketiadaan jaminan hukum yang kuat dapat memberikan dampak serius.

Bamsoet menyinggung data Komnas Lansia dan laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan dan penelantaran terhadap lansia yang banyak terjadi dalam lingkup rumah tangga.

"Banyak dari mereka yang mengalami kekerasan ekonomi, dipaksa menyerahkan aset atau pensiun, atau sekadar diabaikan dalam kebutuhan dasarnya, namun karena minimnya aturan hukum, serta tidak adanya mekanisme aduan yang ramah lansia, sebagian besar kasus tersebut tidak pernah sampai ke proses hukum," tuturnya.

Dia juga memandang ironis atas fakta bahwa sebagian besar lansia di Indonesia semasa produktifnya berada di sektor informal sehingga ketika pensiun tiba, mereka tidak memiliki jaminan hari tua atau dana pensiun, sehingga bergantung kepada anak atau komunitas.

"Bahkan, banyak yang harus tetap bekerja di usia tua, menjadi penjaga warung, pemulung, atau buruh harian hanya untuk bertahan hidup," ucap dia.

Dia pun mencontohkan, sejumlah negara lain, semisal Jepang, yang telah memiliki kebijakan Long-Term Care Insurance (LTCI) sehingha mewajibkan pemerintahnya menyediakan layanan perawatan jangka panjang berbasis komunitas.

Dia juga menyebut Korea Selatan telah mengintegrasikan sistem e-health untuk lansia agar mereka dapat memantau kesehatannya sendiri dan mengakses layanan kesehatan dengan mudah.

"Selain itu, Vietnam sudah mulai memperkuat program home care berbasis desa sejak 2018," ucapnya.

Untuk itu, dia menegaskan Indonesia tidak bisa terus tertinggal sebab rencana revisi UU Kesejahteraan Lansia yang sudah beberapa kali diwacanakan hingga kini belum terlaksana.

Padahal, tambah dia, regulasi baru yang responsif akan perkembangan zaman merupakan kebutuhan mendesak.

"Kita memerlukan undang-undang yang tidak hanya menyebut hak-hak lansia, tetapi juga menjamin pelaksanaannya dengan skema pembiayaan yang realistis, integrasi layanan lintas sektor, serta perlindungan hukum yang progresif," ujar dia.

Pada kesempatan tersebut pengurus BP Lansia hadir antara lain Ketua Umum Karmen Siregar, Wakil Ketua Umum Robinson Napitupulu, Wakil Sekretaris Jenderal Monang Sirumapea, Bendahara Umum Menara Surya, Ketua Anton Hutabarat, dan Ketua Imam Samudra.