Di tengah keelokan alam Wonosobo, Jawa Tengah, suatu arca biawak berdiri tegak di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto. Arca setinggi nyaris 4 m ini bukan cuma menarik atensi para pengguna jalur, namun pula jadi bahan pembicaraan hangat di media sosial. Dengan realisme yang begitu luar biasa, banyak yang terkecoh serta mengira arca ini merupakan biawak asli.
Tetapi, yang membuat tugu ini terus menjadi mencuri atensi bukan cuma dimensi serta keunikannya, namun pula bayaran pembuatannya yang jauh dari kata mahal. Berbeda dengan banyak tugu lain yang menghabiskan anggaran negeri sampai miliaran rupiah, Tugu Biawak di Wonosobo dibentuk dengan anggaran cuma dekat Rp 50 juta.
Anggaran ini berasal dari program Corporate Social Responsibility( CSR) beberapa BUMD di wilayah tersebut, yang menampilkan kalau karya seni bermutu tidak wajib senantiasa mahal.
Karya Seni dari Seniman Lokal
Di balik karya ini, ada tangan terampil seseorang seniman lokal, Rejo Arianto. Sepanjang 1, 5 bulan, Arianto mengerahkan keahliannya buat mewujudkan arca biawak yang terletak di Jalur Raya Nasional Ajibarang- Secang.
Arianto berkata kalau walaupun anggaran terbatas, dia merasa lumayan dengan dana Rp 50 juta buat pengerjaan arca ini.
“ Buat tenaga pengerjaan, jika buat aku Rp 50 juta lumayan. Jika buat kota Wonosobo aku tidak berhitung, ini sumbangsih aku kepada bunda pertiwi. Tetapi jika mngerjakan di luar kota, bisa- bisa lebih biayanya,” ucap ia. Walaupun Arianto merasa lumayan dengan anggaran tersebut, dia enggan mengatakan rincian bayaran yang lebih mendalam. Baginya, perihal itu kurang etis buat di informasikan kepada publik.
“ Aku sebutkan anggaran kurang etis sebab banyak alibi. Tetapi jika buat kota sendiri, aku tidak menghitung,” jelasnya.
Ilham serta Proses Pembangunan Tugu
Ilham pembangunan Tugu Biawak ini berawal dari Karang Taruna Desa Krasak yang mau menghasilkan karya yang mencerminkan keunikan wilayah mereka. Sehabis memperoleh ilham tersebut, Rejo Arianto diberi mandat langsung oleh Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, buat mewujudkan arca ini.
Kenapa biawak? Sebab hewan ini ialah salah satu spesies endemik yang bisa ditemui di dekat Wonosobo serta jadi simbol yang butuh dilestarikan. Buat membangun arca ini, Rejo dibantu oleh 6 orang yang lain. Dengan dana CSR dari BUMD setempat, pengerjaan arca diawali saat sebelum bulan puasa serta berakhir 5 hari saat sebelum Lebaran.
" Ahlinya aku sendiri, tetapi buat menolong dari cakar ayam hingga berakhir dibantu 6 orang. Pengerjaan saat sebelum puasa serta berakhir H- 5 lebaran," kata Arianto. Selaku seseorang seniman, Rejo Arianto memperhitungkan kalau seni sepatutnya dihargai bersumber pada nilai artistiknya, bukan cuma dari bayaran pembuatannya." Seni itukan terdapat yang abstrak, terdapat yang ekspresif serta sebagainya. Lha lihatnya dari sana, gak dapat secara realistik semacam itu, karya abstrak wajib dinilai dengan kacamata abstrak tidak dapat gunakan kacamata realistik," kata owner instagram Rejo Arianto ini.
Perbandingan dengan tugu lain
Dia meningkatkan kalau banyak tugu- tugu di Indonesia yang menelan bayaran besar tetapi tidak cocok dengan ekspektasi warga. Selaku contoh, Tugu Penyu di Pelabuhanratu, Sukabumi, yang diprediksi menghabiskan anggaran Rp 15, 6 miliyar tetapi hadapi kehancuran cuma sebagian bulan sehabis dibentuk.
Terdapat pula Tugu Bulan Sabit di Kutai Timur yang menghabiskan Rp 2, 5 miliyar, dan Tugu Pesut Mahakam di Samarinda yang menelan anggaran APBD sebesar Rp 1, 1 miliyar tetapi menuai kritik sebab desainnya yang dikira tidak cocok.“ Itu pribadi mereka, aku selaku seniman memperhitungkan karya mereka bagus,” kata Rejo menjawab fenomena tugu- tugu mahal yang tidak cocok harapan warga.
Tugu Biawak ini menemukan sambutan hangat dari warga serta warganet. Banyak yang menyanjung perinci serta realisme arca tersebut, apalagi menyebutnya selaku" ikon baru Wonosobo"." Ini menarik sih, jika umumnya viral pembuatan arca kemahalan, jika ini viral kemurahan, hasilnya pula bagus sekali sangat realistis," kata Lia salah satu pengguna jalur.