Kemunculan kembali tokoh militer Kamboja, Gen Sray Deuk, memicu sorotan tajam di tengah memanasnya kembali konflik perbatasan dengan Thailand.
Selama empat bulan terakhir, ia absen dari publik hingga memunculkan rumor luas bahwa ia tewas akibat serangan udara F-16 Thailand antara 24–28 Juli.
Namun, pekan ini sang jenderal kembali tampil di hadapan kamera, menurut laporan Nation Thailand pada Selasa (9/12/2025).
Tanda eskalasi baru
Sray Deuk dikenal sebagai salah satu panglima perang paling loyal kepada Hun Sen, mantan perdana menteri yang kini menjabat Presiden Senat.
Ia kerap disebut pengambil keputusan penting di medan tempur, menyampaikan arahan langsung dari Hun Sen kepada pasukan garis depan.
Kembalinya Sray Deuk ke publik disertai kemunculan tokoh militer penting lainnya, Gen Hing Bun Heang, komandan Bodyguard Headquarters (BHQ).
Media daring Kamboja secara masif menampilkan laporan dan foto yang menegaskan keduanya masih aktif dan berada di garis komando.
Sray Deuk terlihat menghadiri pertemuan bersama Gen Mao Sophan, wakil panglima angkatan bersenjata sekaligus panglima Angkatan Darat, dan Kim Rithy, gubernur Provinsi Preah Vihear.
Pertemuan berlangsung di markas Brigade Dukungan ke-9 di Distrik Choam Khsant, Preah Vihear — sekitar 25 kilometer di selatan Chong Bok, di wilayah perbatasan yang berhadapan dengan Distrik Nam Yuen, Provinsi Ubon Ratchathani, Thailand.
Dukungan langsung ke pasukan garis depan
Satu hari sebelum bentrokan terbaru terjadi pada Sabtu (6/12/2025), Sray Deuk dan Hing Bun Heang bergabung dengan Wakil Perdana Menteri Hun Many dalam kunjungan ke wilayah perbatasan Preah Vihear.
Mereka membagikan logistik serta memberikan dukungan moral kepada tentara Kamboja yang berada di garis depan.
Bagi sejumlah analis militer, kemunculan kembali dua tokoh perang utama ini menunjukkan bahwa Kamboja sedang memobilisasi figur militer paling berpengaruh menjelang kemungkinan perang terbuka.
Tuduhan ranjau
Salah satu pemicu ketegangan terbaru adalah laporan Thailand di forum Konvensi Anti-Ranjau (Ottawa Convention) PBB, yang menampilkan bukti video dugaan pasukan Kamboja menanam ranjau antipersonel di wilayah Thailand, menyebabkan tujuh prajurit Thailand kehilangan kaki.
Langkah itu dipandang Thailand sebagai upaya untuk membantah narasi Phnom Penh yang selama ini menggambarkan “Thailand yang lebih besar menindas tetangga yang lebih kecil.”
Sebagai respons, Thailand memperkeras posisinya. Panglima Angkatan Darat Jenderal Phana Klaewplodthuk memerintahkan kesiagaan tempur penuh di semua wilayah militer.
Ia menegaskan arah operasi secara tegas, “Kalau kita bertempur, kita harus menang, dan kita harus tetap aman. Kalau kita menang pertempuran tapi prajurit kita menderita kerugian besar dan warga sipil tidak aman, itu tidak dapat diterima. Semua orang harus tetap selamat, misi harus berhasil, dan kerusakan harus ditekan seminimal mungkin.”
Rencana operasi juga diperbarui oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Chaiyapruek Duangprapat, yang diberi tugas meninjau kembali rencana operasi “Chakrabongse Bhuvanath” setelah putaran pertempuran sebelumnya tidak mampu menghilangkan ancaman militer Kamboja.
“Tujuannya agar Angkatan Darat membuat kemampuan militer Kamboja tidak efektif untuk waktu yang panjang, demi keselamatan anak cucu kita,” ujarnya.