Matauang.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital mencapai Rp33,39 triliun hingga 31 Januari 2025.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjabarkan, penerimaan tersebut bersumber dari beberapa sumber utama, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Transaksi Elektronik (PMSE) senilai Rp26,12 triliun, pajak mata uang kripto senilai Rp1,19 triliun, pajak fintech peer-to-peer (P2P) lending senilai Rp3,17 triliun, serta pajak pihak ketiga atas transaksi pengadaan melalui Sistem Informasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (SIPP) senilai Rp2,9 triliun.
Hingga Januari 2025, pemerintah telah menetapkan 211 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN. Dwi mencatat tidak ada pengangkatan baru, pembetulan data, maupun pencabutan status pemungut PPN selama bulan Januari.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 181 badan usaha PMSE telah aktif memungut dan menyetorkan PPN atas transaksi elektronik dengan total sebesar Rp26,12 triliun. "Jumlah tersebut meliputi Rp731,4 miliar yang dipungut pada 2020, Rp3,90 triliun pada 2021, Rp5,51 triliun pada 2022, Rp6,76 triliun pada 2023, Rp8,44 triliun pada 2024, dan Rp774,8 miliar pada 2025," kata Dwi dalam keterangan tertulis, dikutip pada Rabu, 12 Februari.
DJP juga melaporkan penerimaan pajak mata uang kripto telah mencapai Rp1,19 triliun hingga Januari 2025. Penerimaan tersebut meliputi penerimaan tahun 2022 sebesar Rp246,45 miliar, tahun 2023 sebesar Rp220,83 miliar, tahun 2024 sebesar Rp620,4 miliar, dan tahun 2025 sebesar Rp107,11 miliar.
Dwi memaparkan, penerimaan pajak kripto tersebut bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas transaksi penjualan kripto di bursa sebesar Rp560,55 miliar dan PPN atas pembelian kripto di bursa sebesar Rp634,24 miliar.
Selain itu, sektor fintech P2P lending memberikan kontribusi penerimaan pajak sebesar Rp3,17 triliun hingga Januari 2025. Penerimaan pajak fintech tersebut meliputi penerimaan tahun 2022 sebesar Rp446,39 miliar, tahun 2023 sebesar Rp1,11 triliun, tahun 2024 sebesar Rp1,48 triliun, dan tahun 2025 sebesar Rp140 miliar.
Pajak fintech lending tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga yang diperoleh wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar Rp830,54 miliar, PPh 26 atas bunga yang diperoleh wajib pajak luar negeri (WPLN) sebesar Rp720,74 miliar, dan PPN atas transaksi dalam negeri sebesar Rp1,62 triliun.
"Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi pelaku usaha, baik konvensional maupun digital, pemerintah akan terus menetapkan badan usaha PMSE yang menjual produk atau menyediakan layanan digital dari luar negeri kepada konsumen Indonesia," jelas Dwi.
Dwi juga menegaskan, pemerintah akan terus menjajaki potensi sumber penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital lainnya, antara lain pajak mata uang kripto atas perdagangan aset, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan peminjam, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.