Matauang.com, Jakarta - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai masuknya Indonesia ke BRICS tidak serta merta berarti mendukung agenda dedolarisasi yang digaungkan Cina dan Rusia. Menurutnya, keputusan ini lebih ditujukan untuk memperluas mitra dagang dan memperkuat posisi ekonomi Indonesia di kancah global.
Josua menjelaskan, pemerintah memang tengah menggalakkan skema Transaksi Mata Uang Lokal (LCT) untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam perdagangan internasional. Namun, ia menegaskan hal itu bukan bagian dari strategi besar untuk meninggalkan dolar sama sekali.
"Kita masuk BRICS bukan untuk mendukung dedolarisasi China dan Rusia, tetapi untuk memperluas mitra dagang. Dedolarisasi yang kita dorong adalah untuk memberikan opsi bagi dunia usaha agar tidak selalu bergantung pada dolar," kata Josua dalam diskusi Dinamika Nilai Tukar di Tengah Ketidakpastian Global di Bank Indonesia Provinsi Aceh, Sabtu, 8 Februari 2025.
Josua juga menyoroti tantangan penerapan LCT yang selama ini menurutnya lebih banyak didorong oleh Indonesia, sementara bank sentral negara mitra belum menunjukkan komitmen serupa. Ia mencontohkan penggunaan QRIS di Thailand yang ternyata masih belum sepenuhnya dipahami oleh perbankan Thailand, padahal sistem tersebut sudah bisa digunakan oleh wisatawan Indonesia di sana.
"Kita sudah punya QRIS, sudah punya LCT, tapi bank sentral negara mitra belum sepenuhnya siap. Jangan sampai BI yang dorong, tapi bank sentral lain belum menunjukkan keseriusan yang sama," kata Josua.
Menurutnya, agar skema LCT dapat berjalan dengan baik, negara mitra harus turut serta mendorong pemanfaatannya, baik untuk transaksi impor maupun ekspor. Jika hanya satu pihak yang aktif, inisiatif ini tidak akan berjalan optimal.
Josua pun menepis spekulasi bahwa Indonesia akan mengikuti jejak China dan Rusia dalam menciptakan mata uang tunggal untuk menggantikan dolar AS. Ia mengatakan fokus Indonesia adalah menyediakan lebih banyak pilihan bagi dunia usaha, bukan menggeser peran dolar dalam sistem keuangan global.
"China dan Rusia memang punya agenda untuk menciptakan mata uang khusus untuk menggantikan dolar, tetapi Indonesia tidak punya niat ke arah itu," katanya.
Dengan demikian, Indonesia tetap terbuka terhadap peluang diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional, namun tanpa meninggalkan sistem keuangan global yang masih didominasi dolar AS. Langkah ini dinilai sebagai strategi yang lebih pragmatis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah dinamika geopolitik global.