Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menyatakan bahwa negaranya akan mengembalikan sistem peluncur rudal Typhon ke AS jika China menghentikan "perilaku agresifnya."
"Mari kita buat kesepakatan dengan China: setop mengeklaim wilayah kami, berhenti mengganggu nelayan kami dan biarkan mereka mencari nafkah," kata Marcos pada Kamis (30/1), menurut pernyataan dari Kantor Komunikasi Kepresidenan Filipina.
"Berhenti menabrak perahu kami, berhenti menyemprotkan meriam air ke rakyat kami, berhenti menembakkan laser ke arah kami, dan hentikan perilaku agresif dan koersif kalian, dan kami akan mengembalikan rudal Typhon," kata Marcos, menambahkan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning bulan lalu mengatakan bahwa rudal Typhon yang diperoleh Filipina dari AS akan "memicu ketegangan" di kawasan itu.
China mendesak Filipina untuk segera "menarik kembali" rudal itu, kata dia.
Secara terpisah pada Kamis, Filipina mengumumkan penangkapan lima warga negara China yang diduga memata-matai penjaga pantai dan angkatan laut (AL) Filipina.
Menurut Biro Investigasi Nasional Filipina, kelima orang itu "diyakini telah terlibat dalam pengintaian udara" dengan pesawat nirawak, mengumpulkan data AL Filipina, dan kegiatan spionase lain.
Sebelumnya pada 17 Januari, seorang warga negara China, Deng Yuanqing, ditangkap atas dugaan mata-mata bersama dua warga negara Filipina.
Ketegangan antara Beijing dan Manila telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir terkait Laut China Selatan (LCS).
Wilayah seluas 3,5 juta km persegi itu dilalui oleh perdagangan global senilai sekitar 11,3 miliar dolar (Rp184,1 triliun) per tahun, menurut Pusat Studi Strategis dan Internasional.
China mendaku hampir seluruh wilayah LCS, yang tumpang tindih dengan perairan teritorial sejumlah negara, termasuk Filipina.