Dalam beberapa pekan terakhir, Iran melakukan deportasi massal terhadap ribuan warga Afghanistan, menyusul tuduhan yang menyebut mereka sebagai mata-mata yang bekerja untuk Israel. Menurut data dari lembaga bantuan internasional, sekitar 30.000 hingga 50.000 orang dipulangkan secara paksa dan mendadak ke Afghanistan, meninggalkan situasi yang sangat sulit bagi para pengungsi tersebut.
Alasan di Balik Pengusiran
Kebijakan ini diambil setelah adanya kecurigaan bahwa sejumlah imigran dan pekerja asal Afghanistan berperan sebagai agen atau simpatisan Israel. Meski banyak dari mereka yang menegaskan tidak memiliki kaitan dengan urusan politik maupun militer, Pemerintah Iran tetap bersikukuh untuk membersihkan keberadaan mereka dari wilayahnya. Langkah ini dinilai mencerminkan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung di kawasan tersebut.
Kondisi Warga Afghanistan Setelah Dipulangkan
Sebagian besar dari mereka yang dideportasi adalah generasi kedua yang lahir dan besar di Iran, namun tidak memiliki ikatan langsung dengan Afghanistan. Banyak dari mereka tidak membawa uang atau barang berharga saat kembali ke tanah air. Mereka tiba di Afghanistan dengan pakaian seadanya dan kartu SIM Iran yang sudah tidak berlaku lagi. Sebuah kisah menyentuh datang dari seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang memegang bonekanya erat. "Dia orang Iran. Sekarang aku pengungsi, dan dia juga harus jadi pengungsi," ujarnya dengan polos.
Selain itu, ada pula keluarga yang harus melindungi diri dari terik matahari di bawah tenda-tenda darurat, menunggu nasib mereka di tengah kondisi yang tidak pasti. Mereka berharap dapat menemukan tempat tinggal yang layak dan aman, tetapi tantangan besar menanti di tanah kelahiran mereka yang sedang dilanda berbagai krisis.
Diskriminasi dan Perlakuan Tidak Manusiawi
Sebelum diusir, warga Afghanistan di Iran sering mengalami diskriminasi sistemik. Mereka dipandang sebagai warga kelas dua, yang tidak memiliki hak politik atau akses ke layanan dasar. Banyak dari mereka yang dilarang mengakses pendidikan publik, dan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan, mereka sering menerima gaji di bawah standar upah minimum dan menghadapi perlakuan tidak adil di berbagai tempat umum, seperti toko dan fasilitas kesehatan.
Seorang pengungsi menuturkan, "Kami hanya ingin hidup tenang, tetapi malah diperlakukan seperti mata-mata. Pengusiran itu satu hal, tetapi penghinaan dan kekerasan yang kami terima jauh lebih menyakitkan."
Kondisi Darurat di Tempat Penampungan Sementara
Setelah dipulangkan, warga Afghanistan menempati kawasan perbatasan yang kurang memadai sebagai tempat transit. Fasilitas yang tersedia sangat terbatas, dengan tenda yang penuh sesak dan suhu ekstrem mencapai 45–50°C. Kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, dan layanan kesehatan hampir tidak mencukupi. Banyak pengungsi, termasuk anak-anak dan perempuan, harus tidur di tanah terbuka karena tidak ada tempat berlindung yang memadai.
Organisasi kemanusiaan menyatakan keprihatinan mereka terhadap kondisi ini dan menyerukan agar proses deportasi dihentikan. Mereka menegaskan bahwa banyak dari pengungsi tersebut tidak memiliki dokumen resmi atau bahkan kehilangan anggota keluarga selama proses pemulangan. Krisis ini tidak hanya menambah beban kemanusiaan di Afghanistan, tetapi juga memperburuk situasi kemiskinan dan ketidakstabilan politik di negara tersebut.
Situasi yang Memprihatinkan dan Seruan Dunia
Dengan situasi yang semakin memburuk, ada desakan dari komunitas internasional agar pemerintah Iran dan negara-negara terkait meninjau kembali kebijakan deportasi ini. Bantuan kemanusiaan pun mulai mengalir, tetapi belum cukup untuk mengatasi gelombang pengungsi yang terus bertambah.
Kondisi ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dan perlunya solusi jangka panjang untuk mengatasi akar permasalahan migrasi dan konflik di kawasan tersebut.