BACA BERITA

Gencatan Senjata Belum Tentu Bisa Pulihkan Ekonomi Dunia

Author: matauang Category: Keuangan
Seperti diketahui, setelah dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengumumkan sejumlah kebijakan terobosan, salah satunya menginisiasi gencatan senjata di Gaza.

Gencatan senjata itu disambut optimisme banyak pihak. Itu dianggap dapat meredakan ketegangan geopolitik sekaligus memberikan harapan bagi perbaikan situasi ekonomi global.

Namun, Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan melihat sebaliknya.

Gencatan senjata di Jalur Gaza, Palestina, tidak akan banyak membantu. Pasalnya ada banyak masalah lain yang turut berkontribusi besar terhadap melemahnya perekonomian dunia. Pascapandemi terdapat persoalan kronis di sektor ketenagakerjaan dan investasi, apalagi pengangguran dunia sangat tinggi.

"Gencatan senjata memang bisa sedikit meredakan gejolak ekonomi global. Namun, itu belum cukup untuk memulihkan ekonomi dunia yang masih rapuh. Apalagi saat ini prospek ekonomi global masih belum membaik," ujar Abdul dilansir Media Indonesia, Minggu, 26 Januari 2025.


Dia menyebut Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 mencapai 3,3 persen. Sementara, pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok pada tahun ini diproyeksikan melambat menjadi 2,7 persen dan 4,6 persen. "Terlebih, IMF juga memprediksi lalu lintas perdagangan dunia mungkin akan melambat menjadi 3,2% pada 2025," ucap dia. Abdul menilai gejolak geopolitik global dinilai masih menjadi tantangan besar bagi perekonomian dunia. Ketegangan yang terjadi antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa, ditambah dengan konflik-konflik lain seperti Taiwan-Tiongkok dan Korea Selatan-Korea Utara, bisa semakin memperburuk ketidakpastian global. "Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakpastian global semakin tinggi," ungkap dia.
Di tengah situasi ekonomi seperti ini, Abdul menganalisis sektor ekonomi yang diuntungkan. Pertama, sektor yang connect langsung dengan ekonomi global seperti pertanian dan komoditas. Kedua, sektor ekonomi hijau. Untuk itu, Abdul menilai, Indonesia perlu memanfaatkan potensi sektor-sektor tersebut di tengah progres hilirisasi yang telah dilakukan agar mendapatkan nilai tambah yang lebih optimal.