India tidak mengupayakan pembentukan mata uang bersama BRICS, sebuah inisiatif potensial yang mendapat penolakan keras dari Donald Trump. Trump mengancam akan mengenakan tarif 100 persen terhadap produk-produk dari blok BRICS yang beranggotakan sembilan negara jika blok tersebut mengganti dolar AS dengan mata uang lain atau mendukung alternatif selain selain dolar AS.
Para analis mengatakan saling tidak percaya dan perbedaan pendapat antara anggota utama BRICS seperti India dan China merupakan batu sandungan besar dalam memajukan mata uang bersama.
Chintamani Mahapatra, pakar kebijakan luar negeri di Kalinga Institute of Indo Pacific Studies, mengatakan,“India tidak mendukung inisiatif khusus ini. Mata uang bersama apa pun tidak akan membantu siapa pun; hanya negara-negara dominan seperti China yang pada akhirnya akan mendikte. Jadi, sangat sulit untuk mengembangkan konsensus untuk memiliki mata uang bersama.”
Kelompok inti BRICS – China Rusia, India, Brazil, dan Afrika Selatan – berkembang tahun ini hingga mencakup Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir. Pembicaraan mengenai mata uang BRICS mendapatkan momentum pada tahun 2022 setelah AS menjatuhkan sanksi terhadap Rusia menyusul perang di Ukraina dan meningkatnya ketegangan antara Barat dan China.
Namun aliansi negara-negara berkembang itu terlalu beragam untuk membuat mata uang bersama sebagai sebuah kemungkinan menurut Mahapatra. “Kita (BRICS) tidak memiliki pasar yang sama. Kita tidak memiliki kebijakan perdagangan yang sama. Kita tidak memiliki kesamaan,” jelasnya.
Namun, India dan beberapa negara BRICS lainnya telah meningkatkan upaya perdagangan dalam mata uang lokal mereka untuk mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat, kata analis perdagangan Biswajit Dhar dari Centre for Economic Studies and Planning School of Social Sciences, Jawaharlal Nehru University, New Delhi.
“Ada 17 negara yang telah diidentifikasi oleh pemerintah India dengan siapa India ingin berdagang dalam rupee atau mata uang bilateral,” sebutnya.
Negara-negara tersebut termasuk Rusia. New Delhi, yang tidak terkena sanksi Amerika Serikat, membayar impor minyak dalam jumlah besar dari Moskow dalam rupee. Namun perdagangan rupee juga menimbulkan masalah, kata Dhar.
“India mengalami defisit perdagangan yang sangat besar dibandingkan dengan Rusia, yang berarti ketika India membeli banyak minyak dan membayar dalam rupee, Rusia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan stok rupee yang dimilikinya saat ini,” komentarnya.
Menteri Luar Negeri India Subramanian Jaishankar mengatakan bahwa menjauh dari dolar AS bukanlah bagian dari kebijakan ekonomi India. Hal ini, kata para analis, disebabkan karena kepentingan strategis India pada umumnya sejalan dengan Amerika Serikat.