Matauang.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada dua bulan pertama tahun 2025 hari ini. Dalam jumpa pers yang berlangsung sekitar 3 jam itu, Kementerian Keuangan sama sekali tidak menyinggung soal dampak skema Coretax terhadap penerimaan negara di awal tahun ini.
Salah satu hal yang disorot dalam paparan APBN KiTa (kinerja dan fakta) Sri Mulyani adalah penurunan penerimaan pajak sebesar 30,19 persen dari Rp269,02 triliun tahun lalu menjadi Rp187,8 triliun per Februari 2025.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyarankan agar Kementerian Keuangan mengatasi masalah tersebut dalam sistem perpajakan baru negara tersebut. “Coretax harus diakui sebagai faktor utama perlambatan penerimaan pajak,” katanya saat dihubungi pada Kamis, 13 Maret 2025.
Kementerian tersebut mengklaim penurunan tersebut wajar, dengan mengacu pada pola penerimaan pajak, yang mengalami pertumbuhan pada bulan Desember diikuti oleh penurunan selama dua bulan pada bulan Januari dan Februari. Pemerintah mengaitkan penurunan tersebut dengan penurunan harga komoditas.
Namun, Syafruddin menilai Kementerian Keuangan mengabaikan dua faktor penyebab turunnya penerimaan pajak, yakni penerapan Coretax yang bermasalah dan ekosistem bisnis yang lesu. Ia menilai Kementerian Keuangan terlalu menyederhanakan masalah fiskal yang dihadapi pemerintah.
“Jika hanya harga komoditas yang menjadi penyebabnya, dampaknya hanya terlihat pada pajak pertambangan dan perkebunan,” kata Syafruddin.
Namun, berdasarkan data APBN KiTa edisi Februari 2025 yang dipublikasikan Kementerian Keuangan, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri pada Januari 2025 sebesar Rp2,58 triliun, turun dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp35,6 triliun.
Data yang ada mengkhianati tujuan Coretax, yaitu meningkatkan efisiensi pajak di Indonesia. Transisi sistem perpajakan yang tidak mulus mengakibatkan kesulitan teknis saat pelaporan wajib pajak. "Penerimaan pajak yang seharusnya masuk tepat waktu mengalami keterlambatan, sehingga menyebabkan defisit anggaran negara makin parah," kata Syafruddin.
Selain itu, menurutnya, ekosistem bisnis yang tertekan juga turut menyebabkan lemahnya penerimaan pajak. Karena itu, Sri Mulyani tidak boleh hanya menyalahkan harga komoditas sebagai penyebab anjloknya penerimaan pajak, tetapi juga mengakui bahwa kebijakan perpajakan dan kondisi ekonomi domestik sama-sama berperan dalam melemahkan penerimaan negara.
"Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap penerapan Coretax dan strategi pemulihan bisnis, defisit anggaran negara akan semakin sulit dikendalikan dalam jangka panjang," katanya.