14 Oktober 2024 — Di tengah dinamika dunia keuangan global, mata uang mengalami transformasi besar. Sementara mata uang fiat tradisional masih mendominasi pasar global, mata uang digital dan cryptocurrency semakin mendapatkan perhatian. Dari mata uang digital bank sentral (CBDC) hingga cryptocurrency terdesentralisasi seperti Bitcoin, dunia kini menyaksikan perubahan besar dalam cara kita memandang dan menggunakan uang.
Kenaikan Cryptocurrency
Cryptocurrency, yang dulunya dianggap sebagai kelas aset yang terbatas, kini semakin diterima di pasar mainstream. Bitcoin, cryptocurrency terbesar dan paling terkenal, telah mengalami lonjakan nilai yang signifikan, menarik perhatian baik dari investor individu maupun institusi. Ethereum, cryptocurrency kedua terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar, juga mengalami pertumbuhan pesat berkat teknologi kontrak pintar yang inovatif.
Meski volatilitasnya tinggi, cryptocurrency semakin dilihat sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan sebagai penyimpan nilai, mirip dengan emas. "Bitcoin adalah emas digital," kata Jack Mallers, CEO Strike, platform pembayaran cryptocurrency terkemuka. "Ketika mata uang fiat tradisional menghadapi tekanan inflasi, orang-orang mencari alternatif untuk melindungi kekayaan mereka."
Adopsi Bitcoin dan cryptocurrency lainnya semakin meningkat. Perusahaan besar seperti Tesla, Square, dan PayPal telah mengintegrasikan pembayaran cryptocurrency ke dalam platform mereka, yang menandakan penerimaan yang semakin luas di ekonomi mainstream. Selain itu, beberapa negara, seperti El Salvador, telah mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah, semakin memperkuat peranannya dalam sistem keuangan global.
Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC): Respon Pemerintah
Sebagai respons terhadap kenaikan cryptocurrency terdesentralisasi, bank sentral di seluruh dunia sedang mengeksplorasi penciptaan mata uang digital mereka sendiri. Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) adalah bentuk digital dari mata uang resmi suatu negara, yang diterbitkan dan diatur oleh bank sentral. Berbeda dengan cryptocurrency yang beroperasi secara independen dari kendali pemerintah, CBDC akan bersifat terpusat dan tunduk pada kebijakan moneter nasional.
China memimpin dengan yuan digitalnya, yang telah menjalani uji coba ekstensif di berbagai kota. Yuan digital ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan China, memberikan lebih banyak kontrol terhadap kebijakan moneter, serta mengurangi risiko pencucian uang dan penipuan. Bank Rakyat China (PBOC) menekankan pentingnya yuan digital dalam mendukung tujuan negara untuk menjadi pemimpin global dalam keuangan digital.
Negara-negara lain, termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris, juga sedang mengeksplorasi CBDC, meskipun pada tahap pengembangan yang berbeda. Bank Sentral Eropa (ECB) sedang mempelajari kemungkinan peluncuran euro digital, sementara Federal Reserve AS sedang melakukan penelitian mengenai dolar digital.
CBDC menawarkan beberapa potensi keuntungan, termasuk inklusi keuangan yang lebih besar, pembayaran lintas batas yang lebih cepat dan murah, serta kontrol moneter yang lebih baik. Namun, kekhawatiran tentang privasi, keamanan siber, dan potensi campur tangan pemerintah telah menimbulkan pertanyaan mengenai dampak dari sistem keuangan yang sepenuhnya terdigitalisasi.
Dampak pada Mata Uang Fiat Tradisional
Dengan meningkatnya penggunaan mata uang digital dan cryptocurrency, masa depan mata uang fiat tradisional seperti dolar AS, euro, dan yen mulai dipertanyakan. Meskipun minat terhadap uang digital semakin besar, mata uang fiat masih mendominasi perdagangan global dan pasar keuangan. Dolar AS tetap menjadi mata uang cadangan utama dunia, sementara euro adalah mata uang yang paling banyak diperdagangkan kedua di dunia.
Namun, bank sentral secara cermat memantau kenaikan cryptocurrency dan CBDC, karena keduanya berpotensi mengganggu tatanan keuangan yang ada. "Kenaikan mata uang digital dapat membentuk ulang sistem keuangan global, membuat transaksi lintas batas menjadi lebih cepat dan murah, namun juga memperkenalkan risiko baru," kata Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa.