BACA BERITA

Kenapa Kesehatan Mental Masih Dianggap Tabu?

Author: matauang Category: Kesehatan
Matauang.com - Di tengah kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, isu kesehatan mental masih menjadi topik yang sering dihindari. Bahkan di kalangan masyarakat urban yang melek media sosial, menyebut “depresi”, “kecemasan”, atau “terapi psikolog” seringkali masih disambut dengan tatapan aneh atau diam serba salah. Lalu, kenapa kesehatan mental masih dianggap tabu?

Akar Stigma: "Yang Nggak Terlihat, Nggak Dianggap"

Stigma terhadap kesehatan mental banyak bersumber dari pemahaman yang keliru: bahwa gangguan mental adalah bentuk kelemahan pribadi, bukan kondisi medis. Penderita dianggap “kurang bersyukur”, “kurang iman”, atau “terlalu manja”. Akibatnya, alih-alih mendapatkan bantuan profesional, banyak orang memendam penderitaan secara diam-diam.

Mereka khawatir dianggap tidak waras, gila, atau bahkan menjadi beban sosial. Inilah yang membuat banyak kasus gangguan mental tak pernah terdiagnosis, apalagi ditangani dengan benar.

Minimnya Akses: Ketimpangan Layanan Kesehatan Mental

Meski kesadaran mulai meningkat, akses terhadap layanan mental health masih sangat terbatas, terutama di Indonesia:

  • Jumlah psikolog dan psikiater masih jauh dari ideal. Rasio psikolog dengan jumlah penduduk masih sangat rendah (sekitar 1:250.000 di beberapa wilayah).

  • Biaya konsultasi tidak murah. Banyak layanan belum masuk dalam cakupan BPJS secara menyeluruh, sehingga hanya bisa diakses oleh kalangan ekonomi menengah ke atas.

  • Fasilitas terbatas di daerah. Layanan kesehatan jiwa masih terkonsentrasi di kota besar, sedangkan masyarakat pedesaan harus menempuh jarak jauh jika ingin terapi atau perawatan rutin.

Kurangnya edukasi publik dan perhatian pemerintah membuat kesehatan mental tak masuk prioritas utama dalam anggaran kesehatan.

Dampaknya: Generasi Rentan Tapi Tak Tertangani

Di tengah tekanan hidup modern, masalah kesehatan mental seperti depresi, burnout, anxiety, hingga gangguan tidur menjadi hal yang semakin umum, terutama di kalangan generasi muda. Namun karena tabunya topik ini, banyak orang muda yang merasa kesepian dalam perjuangan mental mereka.

Mereka memilih diam, atau melampiaskan pada perilaku negatif seperti menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan zat, atau isolasi sosial. Ironisnya, ketika sudah terlambat, barulah lingkungan menyadari bahwa masalah mental bukan hal sepele.

Menghapus Tabu: Perlu Gerakan Sosial & Kebijakan Serius

Mengatasi tabu soal kesehatan mental butuh usaha dari banyak sisi:

  • Edukasi publik lewat media, sekolah, dan komunitas.

  • Normalisasi terapi psikologis, sama seperti ke dokter umum.

  • Kebijakan pemerintah yang lebih inklusif, seperti layanan gratis atau subsidi kesehatan mental.

  • Peran aktif figur publik dalam membuka ruang diskusi dan berbagi pengalaman tanpa malu.

Penutup

Kesehatan mental bukan soal kelemahan, tapi bagian dari kondisi manusia yang harus dijaga seperti halnya kesehatan fisik. Selama kita masih menganggapnya tabu, penderitaan akan terus disembunyikan, dan solusi tak pernah hadir. Sudah waktunya kita membuka mata dan hati: kesehatan mental itu nyata, penting, dan layak diperjuangkan.