https://matauang.com/ Manchester United, salah satu klub paling sukses di Inggris dan Eropa, memiliki lemari trofi yang melimpah. Namun, di balik kejayaan itu, tersembunyi sebuah ironi mencolok: sejarah buruk dalam memperlakukan para pelatih, bahkan setelah mereka berhasil mempersembahkan gelar juara.
Sejarah Pemecatan Pelatih Setelah Meraih Gelar
Kisah Louis van Gaal adalah salah satu contoh paling jelas. Pelatih asal Belanda itu berhasil mempersembahkan Piala FA pada 2016, mengakhiri dahaga gelar klub pasca-pensiunnya Sir Alex Ferguson. Namun, hanya dua hari setelah mengangkat trofi di Wembley, Van Gaal justru menerima surat pemecatan. Alasan yang diberikan adalah kurangnya kemajuan di liga domestik dan gaya bermain yang dianggap tidak sesuai dengan DNA Man United. Sebuah ironi pahit, seorang pelatih dipecat setelah memberikan trofi mayor pertama bagi klub dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelum Van Gaal, nasib serupa juga dialami oleh David Moyes. Ditunjuk sebagai suksesor langsung Sir Alex Ferguson dengan kontrak jangka panjang, Moyes berhasil meraih trofi Community Shield di awal musim 2013/2014. Namun, performa buruk di Liga Inggris yang mengancam kegagalan lolos ke Liga Champions membuat manajemen klub tak sabar. Moyes dipecat sebelum musim pertamanya berakhir, meninggalkan pertanyaan besar tentang ekspektasi instan di Old Trafford.
Terbaru, Erik ten Hag juga merasakan getirnya tradisi ini. Setelah berhasil mengakhiri puasa gelar dengan menjuarai Piala Carabao dan kemudian secara heroik menaklukkan rival sekota Manchester City di final Piala FA 2024, banyak yang berharap posisinya aman. Namun, awal musim 2024/2025 yang kurang memuaskan di Liga Inggris, dengan hanya meraih tiga kemenangan dari sembilan pertandingan awal, membuat manajemen klub kembali mengambil keputusan drastis. Ten Hag dipecat pada Oktober 2024, hanya beberapa bulan setelah perpanjangan kontraknya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang filosofi dan kesabaran manajemen Man United pasca-era Sir Alex Ferguson. Tekanan untuk meraih kesuksesan instan dan tuntutan performa liga yang tinggi seringkali mengalahkan apresiasi terhadap raihan trofi. Para pelatih yang berhasil memberikan gelar juara pun tak luput dari ancaman pemecatan jika performa tim di kompetisi lain dianggap tidak memuaskan.
Tekanan pada Ruben Amorim Jelang Final Liga Europa
Kini, menjelang final Liga Europa 2024/2025, bayang-bayang sejarah kelam ini tentu menghantui Ruben Amorim. Tekanan ganda jelas memberatkan pundaknya jelang menghadapi Tottenham Hotspur di Stadion San Mames, Kamis (22/5/2025) dini hari WIB.
Andai Amorim berhasil membawa Man United meraih trofi Liga Europa, ia harus menyadari bahwa performa di Liga Inggris juga akan menjadi tolok ukur utama bagi kelangsungan kariernya di Old Trafford. Kemenangan di Bilbao mungkin akan memberikan kelegaan sesaat, namun sejarah telah membuktikan bahwa bagi seorang pelatih Manchester United, meraih juara bukanlah jaminan keamanan mutlak. Kutukan juara, ironisnya, seolah menjadi bagian dari narasi klub raksasa ini di era pasca-Ferguson.
Di tengah latar belakang yang penuh tekanan ini, mantan gelandang Tottenham, Steffen Freund, justru melontarkan prediksi mengejutkan. Menurutnya, hasil pada laga final Liga Europa mungkin tidak akan terlalu berpengaruh pada keputusan akhir para petinggi klub terkait masa depan kedua pelatih.
"Saya harus menjawab dengan cara bagaimana bisnis ini berjalan. Menurut saya, pada akhirnya mungkin tidak masalah bagaimana mereka bermain hari ini – Liga Primer adalah yang terpenting bagi para pendukung, dan kedua tim berada di posisi ke-16 dan ke-17, yang merupakan musim terburuk bagi keduanya," ujar Freund kepada Sky Sports News.
"Jadi saya pikir mungkin kedua pelatih akan pergi setelah pertandingan. Saya tidak suka itu, tetapi lihatlah Man United: sebagian besar pelatih telah dipecat Louis van Gaal setelah kemenangan Piala FA, Erik ten Hag setelah kemenangan Piala FA, jadi begitulah keadaannya dalam bisnis sepak bola. Dan sebagai pelatih, saya ingin melihat kedua pelatih terus maju."