Mata Uang Negara Berkembang Kompak Ambruk di Hadapan Dolar AS, Ini Penyebabnya
Mata uang negara-negara berkembang mencatatkan kerugian mingguan kedua berturut-turut di tengah aksi para pelaku pasar yang menganalisis rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) terbaru untuk memprediksi langkah kebijakan moneter The Fed selanjutnya. Bloomberg melaporkan bahwa indeks mata uang negara berkembang turun hingga 0,15 persen terhadap dolar AS pada Jumat (13/12/2024), setelah mayoritas mata uang Asia dan Amerika Selatan melemah terhadap greenback. Real Brasil sempat meredam kerugian setelah bank sentral Brasil mengumumkan pelelangan dolar di pasar spot, meskipun sebelumnya mata uang tersebut melemah lebih dari 1 persen untuk sesi kedua berturut-turut. Sementara itu, peso Cile juga mengalami tekanan, bersama dengan sejumlah mata uang Asia, setelah rencana stimulus China tidak sejalan dengan ekspektasi investor.
Pasar Brasil sendiri mengalami guncangan dalam sepekan terakhir setelah Presiden Luiz Inacio Lula da Silva menjalani operasi otak darurat. Kondisi ini diperumit dengan keputusan hawkish bank sentral Brasil yang menaikkan suku bunga. “Real Brasil menghadapi kondisi yang sangat tidak menguntungkan akibat ketidakpastian yang meningkat terkait pelebaran defisit fiskal dan risiko dominasi fiskal,” kata Thierry Larose, Manajer Portofolio di Vontobel Asset Management, Zurich. “Meskipun demikian, mata uang ini mampu bertahan.”
Para pedagang masih mempertimbangkan kebijakan suku bunga terakhir The Fed tahun ini, meski data ekonomi AS terbaru seperti tingkat inflasi dan data ketenagakerjaan dirilis pekan ini. “Proyeksi baru The Fed dan komentar Powell akan menjadi penentu pergerakan mata uang di Amerika Latin,” ujar Daniel Velandia, Kepala Ekonom di Credicorp Capital, Kolombia. Dia mengatakan jika Powell meyakinkan pasar bahwa proses penurunan suku bunga akan terus berlanjut, mata uang Amerika Selatan seperti real Brasil dan peso Cile berpeluang berkinerja lebih baik setelah sempat menghadapi tekanan berat. Sementara itu, pasar negara berkembang diselimuti sentimen negatif setelah Konferensi Kerja Ekonomi Pusat di China berakhir tanpa rincian kebijakan stimulus fiskal, meskipun pemerintah berjanji meningkatkan konsumsi. Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, pertumbuhan China sering kali menjadi penentu harga komoditas global.