Matauang.com - Nilai tukar rupiah kembali menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bersamaan dengan pemotongan suku bunga Bank Sentral AS, The Fed setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS.
Melansir data Refinitiv, nilai tukar rupiah ditutup melesat hingga 0,41% ke level Rp15.665/US$ pada akhir perdagangan pekan ini Jumat (08/11/2024). Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.605/US$ hingga Rp15.695/US$.
Selama sepekan ini, rupiah berhasil mempertahankan tren positif dengan menguat sebesar 0,32% dari angka Rp15.715/US$ meskipun diterpa banyak sentimen dari global. Sementara itu,Indeks Dolar AS (DXY) terpantau stagnan pada pukul 15.00 di posisi 104,508.
Rupiah menguat pada akhir pekan ini ditengarai dengan adanya keputusan penurunan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 4,5%-4,75% pada pertemuan periode November 2024.
Keputusan ini sejalan dengan ekspektasi pasar dan menunjukkan sikap hati-hati The Fed mengelola kondisi ekonomi AS di tengah ketidakpastian yang berkelanjutan. Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan fleksibilitas bank sentral, dengan mencatat bahwa keputusan suku bunga di masa depan akan dilakukan pada setiap pertemuan.
Menurut Fithra Faisal Hastiadi, senior economist dari SSI Research, pasar keuangan diperkirakan akan merespons penyesuaian ini secara moderat karena sesuai dengan ekspektasi dan meyakinkan investor bahwa The Fed berkomitmen untuk mendukung stabilitas ekonomi tanpa terlalu melonggarkan kebijakan.
Pasar pendapatan tetap, khususnya obligasi jangka pendek hingga menengah, diperkirakan akan stabil dengan keuntungan yang moderat, sementara jalur pemotongan suku bunga yang bertahap mengurangi risiko volatilitas suku bunga.
Hal ini dapat mendukung penguatan nilai tukar mata uang negara berkembang termasuk rupiah karena adanya aliran keluar dana baru-baru ini dari pasar obligasi dan ekuitas AS.
Sebagai tambahan, beliau juga menyatakan bahwa dengan kemenangan Trump dalam pemilu AS, meskipun The Fed menyatakan akan tetap netral, ada ekspektasi bahwa kebijakan fiskal Trump yang ekspansif dan potensi perang dagang dengan China akan menaikkan biaya produksi dan mendorong inflasi.
Hal ini kemungkinan akan mendorong The Fed untuk menghentikan siklus pemotongan suku bunga tahun ini dan diperkirakan hanya akan ada dua atau tiga pemotongan suku bunga lagi tahun depan, bukan lima.