Matauang.com - Rupiah ditutup stagnan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di tengah sentimen global yang terus bergejolak.
Melansir data Refinitiv, rupiah ditutup stagnan di posisi Rp15.690/US$ pada penutupan perdagangan Kamis (31/10/2024). Selama satu hari penuh, fluktuasi rupiah pada kisaran Rp15.710/US$ hingga Rp15.670/US$.
Sementara DXY tepat pukul 15.00 WIB tampak melemah tipis hingga 0,02% di angka 103,975. Angka ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan penutupan Rabu (30/10/2024) yaitu berada di angka 103,994.
Nilai tukar garuda tampak stagnan pada hari ini di tengah berbagai sentimen eksternal, terutama dari China, Jepang, hingga AS, serta ekspektasi pasar terhadap data inflasi dan PMI manufaktur Indonesia yang akan dirilis pada awal bulan November 2024.
Pasar global menyoroti proyeksi Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur China yang kemungkinan meningkat dari 49,8 menjadi 50,1 pada Oktober 2024, menandai potensi pemulihan manufaktur di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Jika PMI China kembali ke zona ekspansif, hal ini akan memberi sentimen positif bagi ekonomi Indonesia, mengingat China merupakan mitra dagang utama bagi Indonesia. Namun, ketidakpastian masih ada, karena jika pertumbuhan ini tidak tercapai, akan menimbulkan tekanan lebih lanjut terhadap rupiah dan pasar keuangan dalam negeri.
Sementara itu, Bank of Japan (BoJ) juga menjadi perhatian investor karena kembali mempertahankan suku bunga rendah pada 0,25%. Keputusan ini sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar untuk tidak menaikkan suku bunganya di tengah kondisi global yang tak menentu.
Selain dari kawasan Asia, perlambatan ekonomi Amerika Serikat turut menambah tekanan terhadap mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Data terbaru menunjukkan bahwa ekonomi AS tumbuh sebesar 2,8% pada kuartal ketiga 2024 (advance), melambat dari 3% pada kuartal sebelumnya dan lebih rendah dari ekspektasi.
Perlambatan ini terjadi di tengah lonjakan pengeluaran pribadi, tetapi diimbangi dengan penurunan pada investasi tetap, khususnya di sektor bangunan dan perumahan. Di dalam negeri, pelaku pasar juga menantikan rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) dan PMI Manufaktur Indonesia.
Konsensus menilai bahwa IHK periode Oktober 2024 diperkirakan akan tetap rendah dengan inflasi secara tahunan yang melandai dan secara bulanan terlepas dari deflasi lima bulan beruntun. Sedangkan PMI manufaktur Indonesia saat ini menjadi perhatian karena jika kembali berada di zona kontraksi, maka hal ini menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur/pabrik di Indonesia masih belum membaik dan berujung pada tekanan bagi rupiah karena memberikan gambaran tentang lemahnya permintaan domestik.