Presiden terpilih Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen selama masa pemerintahannya. Untuk mencapainya, ia menyiapkan berbagai langkah, mulai dari reformasi perpajakan hingga mendorong hilirisasi sumber daya alam.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu menyebutkan, Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp13.528 triliun dalam lima tahun ke depan untuk merealisasikan target tersebut. Dana itu diharapkan mampu menyerap 3,4 juta tenaga kerja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis pertumbuhan 8 persen bisa dicapai pada 2028, dengan menekankan tiga pilar utama: konsumsi, investasi, dan ekspor—rumus yang pernah membawa Indonesia mencatatkan pertumbuhan 8,2 persen pada 1995.
Namun, sejumlah ekonom pesimis target ambisius ini bisa dicapai dalam waktu dekat. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,11 persen.
Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebut pertumbuhan saat ini sudah cukup baik mengingat daya beli masyarakat yang tertekan. Namun, untuk mencapai angka 8 persen, diperlukan dorongan luar biasa dari berbagai sisi. Konsumsi rumah tangga sebagai motor utama ekonomi masih terhambat inflasi dan ketidakpastian global. Agar konsumsi meningkat, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal secara agresif dan tepat sasaran.
Dari sisi investasi, hilirisasi menjadi andalan utama, terutama di sektor pertambangan. Namun, menurut Rendy, kondisi ekonomi global yang sedang melemah membuat investor semakin selektif. Stabilitas dan kepastian hukum yang lemah, serta inkonsistensi kebijakan di Indonesia menjadi penghambat utama.
Ia juga menilai bahwa tidak semua komoditas ekspor bisa diandalkan. Pemerintah mendorong hilirisasi nikel dan bauksit, tapi keberhasilannya sangat bergantung pada pertumbuhan industri pengolahan. Sektor pariwisata dan ekonomi digital juga memiliki potensi besar, asalkan didukung dengan infrastruktur yang memadai dan promosi yang serius.
Rendy menyimpulkan, target 8 persen lebih cocok sebagai aspirasi jangka panjang, bukan target jangka pendek. Menurutnya, diperlukan reformasi besar dan komitmen tinggi terhadap konsistensi kebijakan untuk mencapainya.
Senada, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai pertumbuhan 8 persen belum realistis dicapai dalam waktu dekat. Ia menegaskan, bahkan di tahun 2026 pun angka itu belum bisa tercapai.
Bhima merekomendasikan empat langkah utama: belanja pemerintah harus lebih ekspansif untuk mendukung sektor riil dan UMKM, kebijakan moneter perlu lebih akomodatif agar mendorong kredit, investasi yang masuk harus berkualitas dan mampu menciptakan lapangan kerja, serta pemberantasan korupsi dan pungli harus dilakukan agar iklim usaha lebih kondusif.
Dari sisi ekspor, Bhima menyarankan agar pemerintah mendorong produk industri bernilai tambah dengan pasar alternatif.
Kesimpulannya, target pertumbuhan ekonomi 8 persen memang mungkin dicapai, tetapi tidak dalam waktu dekat dan tidak dengan struktur ekonomi yang ada sekarang. Diperlukan reformasi menyeluruh, konsistensi kebijakan, dan keberanian mengambil langkah strategis untuk mewujudkannya.