JAKARTA – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menyuarakan dukungan terhadap visi ekspansi wilayah yang dikenal sebagai 'Israel Raya'. Dalam pernyataannya pada 12 Agustus 2025, Netanyahu menyatakan bahwa ia tengah menjalankan misi untuk mewujudkan sebuah negara Israel yang meliputi seluruh wilayah Palestina, serta sebagian besar negara tetangga seperti Yordania, Lebanon, Suriah, Irak, dan Mesir.
Konsep 'Israel Raya' sendiri merupakan gagasan politik dan ideologi yang berakar dari interpretasi tertentu terhadap teks-teks suci dalam agama Yahudi. Banyak kalangan ekstremis Zionis memandang wilayah tersebut sebagai tanah yang dijanjikan, yang membentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Irak.
Dalam wawancara eksklusif dengan i24, Netanyahu menegaskan komitmennya terhadap visi ini. "Saya sangat mendukung gagasan Israel Raya," ujarnya. Ia menambahkan, "Ini adalah misi historis dan spiritual yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, dan saya merasa bertanggung jawab untuk mewujudkannya."
Sejarah mencatat, istilah 'Israel Raya' pertama kali digunakan setelah Perang Enam Hari 1967, yang memperluas wilayah Israel ke sejumlah area seperti Yerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Namun, dalam konteks saat ini, gagasan tersebut kembali muncul dengan intensitas yang lebih besar, termasuk melalui peta resmi yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Israel pada awal tahun ini.
Pada Januari 2025, kementerian tersebut memajang peta yang mengklaim wilayah-wilayah yang selama ini diakui secara internasional sebagai bagian dari Palestina, Yordania, Lebanon, Suriah, dan Mesir, sebagai bagian dari wilayah Israel. Klaim ini ditolak keras oleh sejumlah negara Arab dan masyarakat internasional, yang menilai langkah tersebut sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan upaya memperluas wilayah secara sepihak.
Reaksi keras datang dari negara-negara seperti Qatar, UEA, Yordania, dan Arab Saudi, yang menilai bahwa tindakan ini dapat menghambat proses perdamaian dan memperburuk ketegangan di kawasan. Bahkan, pada Maret 2023, seorang pejabat Israel pernah menampilkan peta serupa di sebuah acara di Paris, yang memasukkan Yordania ke dalam wilayah Israel.
Sejarah panjang pendudukan Israel di wilayah Palestina, Suriah, dan Lebanon juga menjadi latar belakang dari pernyataan Netanyahu. Israel menolak menerima keberadaan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota, dan terus memperluas pemukiman di wilayah pendudukan selama puluhan tahun.
Saat ini, ketegangan di kawasan semakin memuncak setelah serangan besar yang dilakukan oleh kelompok Hamas dan kelompok perlawanan Palestina lainnya pada Oktober 2023. Serangan ini termasuk pelanggaran perbatasan dan penculikan warga, yang kemudian dijadikan alasan Israel untuk melancarkan serangan balasan besar-besaran di Gaza.
Pengepungan yang dilakukan Israel di Jalur Gaza menyebabkan krisis kemanusiaan yang semakin parah, dengan kelaparan melanda dan ribuan warga Palestina menjadi korban. Meski demikian, Israel mulai membuka jalur bantuan kemanusiaan secara terbatas di tengah tekanan internasional.
Upaya mediasi gencatan senjata yang dilakukan oleh Qatar dan Mesir masih berlangsung lambat. Menurut laporan media Amerika, Axios, Israel dikabarkan tengah mempertimbangkan pengiriman delegasi tingkat tinggi ke Doha dalam waktu dekat.
Perjanjian gencatan senjata terakhir berlangsung selama enam minggu sejak Januari 2025, yang berhasil membebaskan 33 sandera dan ratusan warga Palestina. Namun, perundingan untuk memperpanjang kesepakatan tersebut menemui jalan buntu, dan konflik kembali meningkat dengan serangan baru dari Israel ke Gaza.
Sejak dimulainya operasi militer besar-besaran, diperkirakan lebih dari 61.000 warga Palestina mengalami luka-luka dan ratusan lainnya meninggal dunia. Pihak berwenang Palestina menyatakan bahwa jumlah korban tewas dan terluka terus bertambah, termasuk banyak anak-anak yang menjadi korban dampak konflik yang berkepanjangan ini.
Situasi di kawasan terus mengalami ketidakpastian, sementara ketegangan politik dan militer tetap tinggi. Upaya diplomasi internasional, termasuk melalui mediasi sejumlah negara Arab dan internasional, diharapkan dapat membawa solusi yang adil dan berkelanjutan bagi rakyat Palestina dan kawasan secara keseluruhan.