Rahma Dania dan Zarko Gozi berbagi pengalaman kala putra kembarnya mengalami
glaukoma kongenital. Untungnya, penanganan cepat membuat si kembar tidak mengalami gangguan penglihatan permanen.
Rahma dan Zarko menuturkan putra kembar mereka, Kaisar dan Kautsar, memang memiliki bola mata yang besar sejak lahir.
Mulanya, keduanya berpikir bahwa kondisi yang dialami buah hati kembarnya terbilang normal. Pun saat berkonsultasi dengan dokter yang biasa memeriksa si kembar, disebutkan tidak ada masalah berarti.
"Karena respons visual baik, tidak ada urgensi untuk cek ke dokter mata," kata Rahma, dalam webinar bersama Kemenkes beberapa waktu lalu.
Keduanya pun tergerak untuk memeriksakan si kecil setelah menemukan unggahan di media sosial tentang retinoblastoma. Di situ disebutkan ciri penyakit salah satunya ada pantulan pada mata ketika terkena sorotan sumber cahaya.
Rahma mengatakan, ketika dilihat kondisi mata kedua anaknya, kecurigaan dokter mengarah pada glaukoma kongenital. Mereka pun dirujuk ke RS Cicendo Bandung.
"Setelah itu anak-anak menjalani pengobatan setahun dari Agustus 2023, lalu operasi. Meski [penanganan] terlambat, tapi enggak terlambat banget. Sampai saat ini masih perlu kontrol 3 bulan sekali," katanya.
Glaukoma kongenital merupakan gangguan mata yang dibawa sejak lahir. Dokter mata sub spesialis pediatrik oftalmologi dan strabismus RS Cicendo Bandung Feti Karfiati menjelaskan, setidaknya ada tiga gejala utama glaukoma kongenital.
"Mata besar seperti mata sapi, ada kekeruhan pada kornea, dan biasanya berair," kata Feti.
Selain tiga gejala ini, kadang anak mengeluh silau berlebihan saat ada paparan cahaya yang buat anak seusianya terbilang normal. Namun selebihnya, anak jarang mengeluh tentang penglihatannya.
Oleh karena itu, perlu ada kesadaran dan kepekaan orang tua dalam memperhatikan kondisi anak. Jika penanganannya terlambat, anak bisa mengalami gangguan penglihatan permanen hingga kebutaan.