Perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin memanas dengan tarif impor balasan yang saling diterapkan kedua negara. Sayangnya, ekonomi global akan menjadi korban dari perseteruan keduanya.
Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan, perang dagang antara keduanya sebetulnya telah terjadi sejak lama. Namun, skalanya masih dalam perang dingin yang memuncak usai Presiden AS menerapkan tsrif resiprokal secara drastis.
"Cold trade war gitu lah istilahnya. Itu aja sudah membuat pertumbuhan ekonomi global terganggu sekitar 1 persen. Kalau ini dilebarkan sampai ke seluruh dunia itu bisa sampai lebih dari 3 persen, pertumbuhan ekonomi global akan terdisrupsi," kata Ronny dihubungi
Dia mengatakan, ekonomi global tetap akan terdampak meski tarif resiprokal itu ditunda selama 90 hari kedepan. Pasalnya, AS dan China sama-sama sebagai negara kunci perdagangan internasional.Alhasil, negara lain yang bergantung pada ekspor juga akan ikut menanggung dampaknya, termasuk Indonesia."Sehingga sekalipun ditunda ke negara-negara lain selain Cina, tetap pertumbuhan ekonomi global akan terdisrupsi, yang akan berpengaruh kepada negara-negara yang memang sangat bergantung kepada international trade, perdagangan internasional. Negara-negara terutama negara-negara yang punya orientasi ekspor atau export oriented countries, termasuk Indonesia,"
tuturnya.Senada, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menyampaikan maju-mundur kebijakan tarif resiprokal Donald Trump menimbulkan ketidakpastian ekonomi global. Hal ini terlihat pada skema perdagangan internasional berbagai negara."Jadi saya kira belum ada perubahan dari yang kemarin dengan sekarang, walaupun Trump mengatakan mereka akan mengubah atau menunda penerapan tarif selama 3 bulan ke depan, tapi landscape dari perdagangan global itu akan, saya kira ini tetap akan terjadi perubahan dan ketidakpastian itu masih sangat tinggi," jelas Piter kepada