BACA BERITA

Ramai Kabar Genting, MATAUANG Rupiah Jatuh Bangun Lawan Dolar AS

Author: matauang Category: Keuangan
Matauang.com - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar bak roller coaster pada pekan terakhir perdagangan September.Kabar genting dari Amerika Serikat (AS) dan China jadi penyebab Mata Uang Garuda bergerak fluktuatif.

Melansir Refinitiv, mata uang RI ditutup di angka Rp15.120/US$ pada perdagangan Jumat (27/9/2024), menguat 0,26% dari penutupan sebelumnya (26/9/2024).

Selama sepekan, nilai tukar rupiah berhasil menguat 0,17% dari posisi Rp15.195/US$ dan bahkan pada pekan ini tepatnya 25 September 2024, rupiah sempat menguat ke posisi Rp15.095/US$ dan merupakan posisi terkuat sejak 31 Juli 2023.

Rupiah perkasa kala itu karena investor asing terus membanjiri pasar keuangan Indonesia setelah The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps).

Bank Indonesia (BI) mencatat pada periode 17-19 September 2024, investor asing membeli aset neto sebesar Rp 25,6 triliun.

Sebagian besar dari dana tersebut masuk melalui pasar Surat Berharga Negara (SBN) dengan total Rp 19,76 triliun, sementara Rp 4,19 triliun mengalir ke pasar saham, dan Rp 1,66 triliun ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Sepanjang tahun 2024, total pembelian asing mencapai Rp 259,89 triliun di ketiga sektor tersebut, menunjukkan kepercayaan kuat terhadap pasar Indonesia.

Selain itu, didorong oleh sentimen dari negeri Paman Sama, di manan The Conference Board melaporkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS sebesar 6,9 poin menjadi 98,7, penurunan terbesar sejak Agustus 2021.

Melemahnya kepercayaan konsumen AS ini membuat pasar memprediksi bahwa The Fed mungkin akan menurunkan suku bunga lebih lanjut, ini akan menekan dolar yang kemudian akan membuat aliran dana asing kembali mengalir deras ke Tanah Air.

Ekspektasi konsumen terhadap ekonomi AS dalam enam bulan ke depan turun menjadi 81,7, mencerminkan pesimisme yang kian meningkat. Kondisi ini diperburuk oleh pasar tenaga kerja yang melemah dan tingginya biaya hidup. Tekanan ini membuat konsumen AS lebih menahan belanja mereka, yang berdampak pada melemahnya dolar AS.

Dari sisi eksternal, sentimen positif bagi rupiah juga datang dari China. Bank Sentral China (PBoC) mengumumkan stimulus moneter besar-besaran, termasuk pemangkasan giro wajib minimum sebesar 50 basis poin dan suku bunga repo tujuh hari menjadi 1,5%.

Kebijakan ini diharapkan membantu mendorong perekonomian China yang sedang tertekan, memberikan dampak positif bagi perdagangan global dan mendukung penguatan rupiah.

Langkah PBoC ini memberikan kelonggaran bagi sektor properti dan rumah tangga di China, meskipun ada kekhawatiran terkait profitabilitas perbankan. Kombinasi sentimen negatif dari AS dan stimulus dari China menciptakan momentum positif bagi rupiah.

Adapun gejolak yang membuat rupiah turun adalah sentimen dari Amerika Serikat, yang tengah menantikan rilis data final pertumbuhan ekonomi (PDB) kuartal II-2024.

Konsensus pasar memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan meningkat signifikan, dari 1,4% menjadi 3%. Proyeksi ini mengindikasikan keberhasilan para pembuat kebijakan AS dalam mengendalikan inflasi tanpa memicu resesi.

Kondisi ini mendorong spekulasi bahwa bank sentral AS (The Fed) tidak akan segera menurunkan suku bunga, membuat pelaku pasar mengambil posisi lebih berhati-hati terhadap aset-aset berisiko, termasuk mata uang di negara berkembang seperti rupiah.

Selain itu, pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, dan beberapa pejabat tinggi lainnya turut menjadi fokus pasar global. Powell diperkirakan akan memberikan isyarat terkait arah kebijakan suku bunga di masa depan.

Jika sinyal tersebut mengindikasikan suku bunga akan tetap tinggi lebih lama, maka hal ini akan semakin memperkuat posisi dolar AS dan berujung pada tekanan terhadap mata uang Garuda.

Alhasil, investor cenderung mengalihkan modal dari negara-negara berkembang, yang berujung pada pelemahan rupiah.