Rupiah kembali terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di tengah penantian rilis data tenaga kerja AS serta ketidakpastian arah kebijakan politik Jepang yang berpotensi menghambat kebijakan suku bunga.
Melansir data Refinitiv, rupiah ditutup melemah sebesar 0,22% ke posisi Rp15.755/US$ pada penutupan perdagangan Selasa (29/10/2024). Selama satu hari penuh, fluktuasi rupiah pada kisaran Rp15.720/US$ hingga Rp15.777/US$.
Pelemahan ini merupakan yang terdalam pasca terakhir kali terjadi pada 13 Agustus 2024 di titik Rp15.830/US$. DXY tepat pukul 15.00 WIB juga melemah tipis hingga 0,02% di angka 104,294. Angka ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan penutupan pekan lalu yaitu berada di angka 104,316
Pergerakan Rupiah terhadap Dolar AS
Penantian pasar terhadap rilis data lowongan kerja AS nanti malam serta tragedi instabilitas politik Jepang pasca pemilu yang langka menjadi sentimen rupiah hari ini. Rilis data jumlah lowongan kerja oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS akan dinanti pasar mengingat sebelumnya untuk periode Agustus 2024, jumlah lowongan pekerjaan meningkat sebanyak 329.000 menjadi 8,04 juta.
Peningkatan signifikan terjadi pada sektor konstruksi sebanyak 138.000 dan pemerintahan sebesar 78.000, meskipun sektor layanan mengalami penurunan 93.000. Analisis pasar memproyeksikan akan terjadi penurunan menjadi 7,92 juta, sementara Indeks Kepercayaan Konsumen diperkirakan akan mengalami sedikit kenaikan dari 98,7 menjadi 98,8.
Akibatnya Bank sentral AS atau The Fed diproyeksikan akan melakukan pemangkasan suku bunga sebanyak dua kali di sisa tahun ini. Berdasarkan perangkat Fedwatch, terdapat probabilitas 98,4% untuk penurunan suku bunga menjadi 4,5%-4,75% pada pertemuan 7 November 2024, dilanjutkan dengan probabilitas 69,4% untuk penurunan ke level 4,25%-4,5% pada pertemuan Desember.
Sementara itu, gejolak politik di Jepang turut mempengaruhi sentimen pasar setelah Partai Liberal Demokratik (LDP) kehilangan mayoritas parlemen dalam pemilu 27 Oktober 2024, sebuah kejadian langka yang pertama kali terjadi sejak 2009. Situasi politik yang tidak menentu ini diprediksi dapat menghambat rencana Bank of Japan untuk menaikkan suku bunga, meskipun pelemahan nilai tukar yen tetap menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan dalam pertimbangan kebijakan moneter mereka