Matauang.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tampak terus tertekan sepanjang pekan ini.
Dilansir dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan kemarin (17/1/2025), rupiah terkoreksi sebesar 0,03% di angka Rp16.360/US$. Sementara secara mingguan, rupiah juga melemah 1,11%.
Depresiasi 1,11% tersebut merupakan yang terparah sejak pekan ketiga Desember 2024 (16-20 Desember 2024) yang pada saat itu rupiah melemah 1,25%.
Lebih lanjut, posisi rupiah saat ini juga merupakan yang terendah sejak 3 Juli 2024 atau sekitar enam bulan terakhir.
Pelemahan rupiah disepanjang pekan ini didorong oleh posisi indeks dolar AS (DXY) yang berada di level yang cukup tinggi. Sempat pada 13 Januari 2025, DXY menyentuh angka 110, alhasil rupiah terus tertekan.
Tingginya posisi DXY hingga saat ini tak lepas dari ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang tampak tidak seagresif sebelumnya.
Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Pesimisme pasar terjadi akibat kondisi tenaga kerja AS pada saat itu tampak mengalami kenaikan dengan angka non-farm payroll (NFP) yang sempat melonjak di atas ekspektasi hingga angka laju pengangguran yang lebih rendah.
Di samping itu, kemenangan Donald Trump melawan Kamala Harris dalam pemilu AS juga membuat DXY semakin melambung tinggi karena pasar menilai dengan kemenangan Trump maka inflasi akan semakin sulit ditekan khususnya karena barang impor ke AS yang akan dikenakan tarif lebih tinggi sehingga berujung pada keseluruhan harga barang di AS menjadi lebih mahal.
Ketika inflasi tak dapat ditekan ke level yang lebih rendah dan menemui target The Fed di angka 2%, maka The Fed tampak akan membiarkan suku bunga berada di level yang cukup tinggi di waktu yang lebih lama atau dengan kata lain bahwa pemangkasan suku bunga akan menjadi lebih sulit terjadi.
Hal ini semakin diperparah dengan momen inagurasi Trump pada 20 Januari 2025 mendatang di Gedung Capitol AS. Aparat keamanan tampak terus menjaga dan memperketat keamanan di Washington dan Gedung Capitol AS.
Ada potensi untuk rupiah cukup sulit untuk menguat dalam jangka waktu dekat apalagi dalam beberapa waktu terakhir terpantau terjadinet foreign outflow baik dari Surat Berharga Negara/SBN maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Selain itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) AS periode Desember 2024 secara tahunan juga tampak meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini yang semakin membuat The Fed terlihat sulit untuk menurunkan suku bunganya.
Tingkat inflasi tahunan di AS naik untuk bulan ketiga berturut-turut menjadi 2,9% pada Desember 2024 dari 2,7% pada November, sesuai dengan ekspektasi pasar. Kenaikan di akhir tahun ini sebagian disebabkan oleh efek dasar yang rendah dari tahun lalu, terutama untuk energi.
Selain itu, tingkat inflasi tahunan inti harga konsumen di Amerika Serikat, yang tidak termasuk item seperti makanan dan energi, turun menjadi 3,2% pada Desember 2024, dari 3,3% dalam tiga bulan sebelumnya dan sedikit di bawah ekspektasi pasar sebesar 3,3%. Indeks tempat tinggal, yang menyumbang lebih dari dua pertiga dari total kenaikan 12 bulan, naik 4,6% selama setahun terakhir, mencatatkan kenaikan tahunan terkecil sejak Januari 2022.
Laporan CPI Desember "melanjutkan tren yang telah kita saksikan, yaitu bahwa inflasi bergerak turun menuju target," kata Presiden Fed Richmond, Thomas Barkin, kepada wartawan di sebuah acara Kamar Dagang Maryland.
"Proses disinflasi tetap berjalan," kata Presiden Fed New York, John Williams, dalam pernyataan yang disiapkan untuk sebuah acara di Connecticut.
Fed diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya dalam kisaran 4,25%-4,50% pada pertemuan kebijakan berikutnya pada 28-29 Januari, setelah menurunkannya sebesar satu poin persentase penuh dalam tiga pertemuan terakhir tahun 2024.