Jakarta, CNBC Indonesia- Rupiah terpantau merana di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini, karena perkasanya kembali sang dolar AS akibat membaiknya data tenaga kerja AS.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah ambruk 2,38% secara point-to-point (ptp) dihadapan dolar AS. Ambruknya rupiah pada pekan ini menjadi yang terburuk sejak pertengahan April lalu tepatnya periode perdagangan 15-19 April lalu, di mana saat itu rupiah ambruk 2,59% secara point-to-point.
Pada pekan ini pula rupiah kembali mendekati level psikologis Rp 15.500/US$, di mana terakhir rupiah mendekati level psikologis ini yakni pada perdagangan 23 Agustus lalu, tepatnya di Rp 15.485/US$.
Pada perdagangan Jumat (5/10/2024) kemarin, rupiah ditutup melemah 0,42% di level Rp 15.480/US$.
Namun di Asia, rupiah tidak sendirian. Sepanjang pekan ini, tidak ada mata uang asia yang mampu melawan dolar AS. Yen Jepang menjadi yang paling buruk kinerjanya sepanjang pekan ini yakni ambruk 2,94%.
Rupiah dan mata uang Asia ambruk di tengah memburuknya sentimen pasar global setelah makin memanasnya kondisi di Timur Tengah.
Kondisi ini memicu investor untuk mencari aset aman sepert dolar AS. Indeks dolar (DXY) bahkan sampai menguat ke 102,49 kemarin, menjadi yang terkuat sejak pertengahan Agustus lalu.
Ketidakpastian kembali meningkat setelah Iran kembali menyerang Israel. Konflik bersenjata akan menimbulkan kegalauan di pasar dan para investor akan cenderung memilih aset safe haven ketimbang pasar berisiko seperti saham.
Iran melancarkan serangan besar-besaran menggunakan rudal ke Israel pada Selasa kemarin, hanya beberapa jam setelah pejabat Gedung Putih memperingatkan bahwa Teheran "segera" merencanakan serangan.
Tak hanya itu, tantangan masih belum usai di mana pada akhir pekan ini, data tenaga kerja di Negeri Paman Sam cenderung pulih, membuat pasar semakin skeptis bahwa jalur pemangkasan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebesar 50 basis poin (bps) dapat terjadi dua kali dalam pertemuan The Fed di sisa tahun ini.
Data terbaru menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja di AS meningkat pada September lalu. Angka non-farm payroll (NFP) meningkat menjadi 254 ribu pekerjaan bulan lalu, lebih tinggi dari periode sebelumnya sebesar 159 ribu pekerjaan.
Sementara itu, tingkat pengangguran juga turun ke 4,1% pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Agustus lalu yang tumbuh 4,2%.
Kedua data ini membuat pasar kembali skeptis terhadap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada pertemuan kebijakan tanggal 6-7 November mendatang.
Pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya sudah membuat pasar cenderung kecewa dan mulai melakukan aksi profit taking. Sebelumnya, Powell mengindikasikan tidak akan agresif memangkas suku bunga acuannya di sisa pertemuan The Fed tahun ini.
Powell berencana memangkas suku bunga sebesar 25 bps dalam dua pertemuan yakni November dan Desember mendatang, sehingga total pemangkasan suku bunga di sisa tahun ini hanya mencapai 50 bps dalam dua pertemuan.
Hal ini tidak sesuai ekspektasi pasar di mana mereka mengharapkan pemangkasan suku bunga mencapai 75 bps, dengan 25 bps dan 50 bps di salah satu pertemuan mendatang.
Sejauh ini, perangkat CME FedWatch memperlihatkan sebanyak 47,9% pelaku pasar berekspketasi suku bunga Teh Fed sudah di angka 4,00-4,25% pada Desember mendatang. Artinya, mereka berharap ada pemangkasan sebesar 75 bps.