Mao Zedong bukan ahli moneter, tapi pandangannya tentang kekuasaan sejalan dengan yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kata Mao, kekuasaan tumbuh lewat laras senjata. Dan, Trump menggunakan dolar AS sebagai senjata melawan negara-negara yang mengurangi dominasi dolar dalam perdagangannya.
Terpilih menjadi Presiden AS, Trump mulai menarik kokang untuk menunjukkan dominasi dolar dalam perdagangan dunia. Trump mengancam negara anggota BRICS untuk membayar tarif impor 100% jika mereka mengurangi transaksi dalam mata uang dolar AS.
Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, sebagai anggota BRICS belakangan terus merekatkan hubungan dagang dengan transaksi non dolar. Catatan Chatham, hingga pertengahan 2024, Tiongkok menyelesaikan 27% perdagangannya dengan renminbi. Posisi ini naik 17% jika dibandingkan awal tahun 2022. Ini artinya, Tiongkok menggunakan mata uangnya sendiri dalam transaksi dagang lebih dari US$ 50 miliar setiap bulan.
Distribusi kekuatan mata uang global memang berubah, meski belum mampu menyamai dolar AS. Banyak negara terus mencari alternatif transaksi non dolar. Namun hingga kini sulit bagi dunia untuk lepas dari dolar AS. The Greenback sepanjang sejarah sudah menjadi mata uang global yang paling dominan dan banyak ditransaksikan di dunia.
Namun dolar AS secara perlahan mulai kehilangan sebagian daya tariknya. Pasokan dolar global yang berlebih telah mengikis kepercayaan dunia atas nilai The Greenback. Defisit eksternal yang terus-menerus dalam beberapa dekade terakhir membuat AS memiliki kewajiban luar negeri jumbo. Jika pada akhir tahun 1980-an, AS masih menjadi kreditor bersih bagi seluruh dunia, kini utang AS ke para pemberi pinjaman asing sudah melampaui utang debitur asing. Jumlahnya sekitar US$ 20 triliun atau 70% dari PDB AS, berdasar catatan Chatham.
Lalu, semakin seringnya AS menjadikan dolar sebagai senjata untuk melawan negara-negara yang ingin dihukumnya, juga mendorong negara-negara lain untuk menggunakan mata uang lain sebagai alternatif perdagangan. Mereka harus meminimalisir risiko dengan transaksi non dolar.
Kondisi ini tecermin dari hubungan dagang Rusia dan China serta anggota BRICS. Dari transaksi dagang menggunakan Renminbi sebesar US$ 50 miliar saban bulan, transaksi dagang hanya dengan Rusia mendominasi hingga US$ 20 miliar per bulan.
Pembekuan cadangan devisa Rusia pada Februari 2022 bisa menjadi salah satu gambaran AS menjadikan dolar sebagai senjata agresif. Serangan serupa juga dilakukan AS ke bank sentral Libya, Iran, Venezuela, serta Afghanistan, meski jumlahnya kecil. Alhasil, mereka harus beralih ke non dolar.
Semakin sering AS menjadikan dolar sebagai alat kebijakan luar negeri serta sanksi yang berlebih membuat banyak negara khawatir bakal kehilangan akses ke dolar. Negara ekonomi terbesar dunia nomor 2 Tiongkok menjadi salah satu negara yang memiliki banyak alasan untuk khawatir atas persenjataan dolar AS.
Pada tahun 2018, kepemilikan Tiongkok atas sekuritas berdenominasi dolar mencapai 50% dari cadangan devisanya. Meskipun saat ini jumlahnya sudah di bawah 40%, aset AS itu diperkirakan masih mencapai $1,4 triliun. Bukan uang receh. Ini pula yang menyebabkan China sulit berpaling dari dominasi dolar AS.
Dominasi dolar memang tidak mengenakkan bagi banyak negara, tapi kekuatan militer AS, struktur aliansi, dan lambatnya distribusi perubahan kekuatan mata uang nampaknya akan mempertahankan status dolar AS sebagai mata uang dominan untuk waktu panjang. Dan, ini merupakan senjata atas kekuasaan AS.