Matauang.com - Nilai tukar rupiah keok terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pekan ini, bahkan dolar sentuh Rp16.300/US$.
Berdasarkan data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat (20/12/2024) rupiah sumringah dengan menguat hingga 0,58% ke level Rp16,190/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi hingga sentuh level Rp16.185/US$ dan terjauh di posisi Rp16,305/US$. Namun selama sepekan ini rupiah masih alami penurunan cukup dalam hingga 1,25%.
Adapun pelemahan rupiah terhadap dolar paling dalam terjadi pada perdagangan Kamis (19/12/2024). Melansir data Refinitiv,pada penutupan perdagangan hari itu rupiah anjlok hingga 1.24% ke level Rp16.285/US$. Pelemahan lebih dari 1% ini adalah yang paling tajam sejak 7 Oktober 2024 yakni sebelumnya sebesar 1,26%.
Pelemahan rupiah dalam perdagangan minggu ini karena sentimen global yang didominasi kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) dan lonjakan indeks dolar AS (DXY). Pada perdagangan sebelumnya, DXY melesat 1% ke posisi 108,03, tertinggi sejak November 2022, akibat ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga AS yang lebih konservatif.
The Fed dalam pernyataan terbarunya menyebutkan bahwa pemangkasan suku bunga acuan (Fed Funds Rate) pada 2025 kemungkinan hanya akan terjadi dua kali, lebih rendah dari proyeksi September yang mencapai 100 basis poin (bps).
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell, yang menegaskan perlunya kehati-hatian dalam penyesuaian kebijakan moneter. Ekspektasi ini memicu penguatan dolar AS dan memberi tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Kepala Ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, pelemahan rupiah sejalan dengan ekspektasi pasar yang kecewa dengan proyeksi penurunan suku bunga The Fed yang lebih kecil.
"Ekspektasi pasar semula cukup tinggi, tetapi ternyata The Fed lebih berhati-hati, sehingga wajar jika rupiah melemah," ujar Myrdal.
Selain kebijakan suku bunga, inflasi AS yang lebih tinggi juga menjadi faktor tambahan. Data terbaru menunjukkan Indeks Harga Produsen (IHP) AS pada November naik 3% secara tahunan (yoy), sementara Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 2,7% yoy.
Angka ini lebih tinggi dari perkiraan pasar dan memicu kekhawatiran akan kenaikan suku bunga lebih lanjut jika inflasi terus menjauhi target 2% yang ditetapkan The Fed. Ahmad Mikail, Ekonom Sucor Sekuritas, menjelaskan bahwa kenaikan IHP berdampak langsung terhadap prospek dolar AS.
"Kenaikan biaya produksi dapat diteruskan ke konsumen, mendorong inflasi lebih tinggi dan memicu penguatan dolar," ungkap Ahmad.
Tak hanya itu, lonjakan imbal hasil surat utang AS (US Treasury) turut memperburuk posisi rupiah. Imbal hasil US Treasury tenor dua tahun naik ke 4,355%, tenor lima tahun ke 4,383%, dan tenor 10 tahun ke 4,498%.
Kenaikan ini semakin menarik minat investor global terhadap aset dolar AS, sementara mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, mengalami tekanan jual. Di tengah pelemahan ini, investor asing juga tercatat melakukan aksi jual bersih di pasar saham Indonesia, meski di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mereka masih mencatat pembelian bersih.
Data Bank Indonesia menunjukkan sejak pekan kedua Oktober hingga awal Desember 2024, arus modal asing keluar tercatat mencapai Rp47 triliun. Senior Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia juga mengindikasikan bahwa pasar menunjukkan sikap sangat risk-off setelah hasil FOMC terbaru.
Meskipun ada pemangkasan, hasil tersebut dinilai agresif, yang mendorong pelaku pasar mencari aset aman seperti USD dan menyebabkan kenaikan imbal hasil obligasi (yields).
Ke depan, pasar akan terus mencermati langkah Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan meredam volatilitas pasar keuangan domestik.