Perdana Menteri Prancis , Francois Bayrou mendesak warganya untuk mendukung pemotongan belanja publik secara drastis, dimana Ia juga memperingatkan bahwa utang negara itu tumbuh sebesar 5.000 euro (USD5.784) setiap detik. Jika dirupiahkan, utang Prancis terus bertambah setiap detiknya setara dengan Rp94,7 juta.
Perdana Menteri (PM) Prancis, Francois Bayrou mencari dukungan publik untuk menerima rencana pemotongan anggaran secara luas. Dalam sebuah video yang diposting di YouTube, Ia berusaha meyakinkan publik bahwa pengurangan anggaran yang direncanakan sangat penting untuk mencegah krisis fiskal.”Utang kita mencapai 3,4 triliun euro (setara Rp64.415 triliun) – angka yang begitu besar sehingga sulit untuk dibayangkan,” ungkap PM Prancis, Francois Bayrou.
Diperingatkan juga olehnya bahwa pembayaran bunga saja bisa mencapai 100 miliar euro setiap tahun pada tahun 2029 jika tidak ada tindakan yang diambil (penghematan). Usulan yang dilontarkan PM Prancis mencakup penghapusan dua hari libur nasional untuk meningkatkan produktivitas, pemotongan pekerjaan di sektor publik, dan pembekuan pembayaran kesejahteraan serta pensiun, yang biasanya terindeks dengan inflasi. Rencana ini telah memicu reaksi negatif, di mana partai-partai sayap kiri menuduh pemerintah mengutamakan pengeluaran militer daripada kesejahteraan sosial. Bahkan pemimpin La France Insoumise, Jean-Luc Melenchon menyerukan pengunduran diri Bayrou, dengan mengatakan "ketidakadilan ini tidak bisa ditoleransi lagi."
Sementara itu anggaran militer Prancis diperkirakan akan naik menjadi 64 miliar euro pada tahun 2027 - dua kali lipat dari posisi 2017. Presiden Emmanuel Macron berjanji menambah anggaran sebesar 6,5 miliar euro dalam dua tahun ke depan, dengan alasan meningkatnya ancaman terhadap keamanan Eropa . Sebuah proyeksi sektor pertahanan baru-baru ini memperingatkan bahwa 'perang besar' dapat pecah pada tahun 2030, dengan menyebutkan Moskow sebagai salah satu ancaman utama. Di sisi lain Kremlin membantah klaim bahwa mereka merencanakan untuk menyerang Barat, serta menuduh NATO menggunakan Rusia sebagai dalih untuk militarisasi.