BACA BERITA

Bahaya Mempolitisasi Bank Negara

Author: matauang Category: Politik
Matauang.com, Jakarta - Manajemen bank-bank milik negara tengah dirombak, seiring dengan rencana pemerintah untuk memberikan banyak penugasan kepada mereka. Hal ini berisiko menimbulkan gejolak ekonomi dan politik.

P RESIDEN Prabowo Subianto tidak boleh mengambil risiko bermain api saat mengelola bank milik negara. Krisis 1998 mengajarkan kita bahwa gejolak politik dan ekonomi menjadi tak tertahankan ketika sistem perbankan runtuh. Dengan kendali mereka terhadap hampir setengah aset sistem perbankan nasional, bank milik negara bisa menjadi sumber bencana jika dikelola seperti bank milik taipan di era Orde Baru.

Kekhawatiran tentang potensi memburuknya pengelolaan bank bukanlah hal yang berlebihan. Sejak awal tahun, pemerintahan Prabowo terus menunjukkan tanda-tanda akan menjadikan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai mesin pembangunan atau lebih tepatnya, alat pemerintah.

Melalui revisi UU BUMN dan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025, Prabowo mengalihkan 99 persen saham perusahaan milik negara kepada Lembaga Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara ( Danantara ). Sebagian saham di 14 BUMN penerbit saham dialihkan kepada Biro Klasifikasi Indonesia, entitas induk operasional Danantara. Empat di antaranya merupakan bank milik negara, yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan Bank Tabungan Negara.

Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah akan menugaskan BUMN tersebut untuk mendanai pembangunan tiga juta rumah dan pendirian Koperasi Kampung Merah Putih. Kedua program tersebut hanyalah sebagian kecil dari 83 kegiatan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang digulirkan Prabowo pada awal Februari 2025. Berdasarkan dokumen RPJMN terbaru, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 yang dijanjikan Prabowo, pembangunan selama 5 tahun ke depan membutuhkan dana sedikitnya Rp24,5 triliun. Negara hanya sanggup membiayai kurang dari sepertiganya.

Karena itu, wajar saja jika banyak pihak menduga perombakan manajemen bank BUMN pada akhir Maret lalu merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan sejumlah ambisi Prabowo. Meski pergantian manajemen merupakan hal rutin, skala intervensi politik di BUMN kerap kali mengakibatkan para pengelola perusahaan bersikap loyal kepada otoritas, alih-alih bertindak profesional.

Politisasi BUMN ini selalu berujung pada masalah serius. Pengalaman pahit BUMN konstruksi menjadi buktinya. Mereka masih terjerat masalah keuangan akibat penugasan yang gegabah di era Presiden Joko Widodo.

Dampak politisasi BUMN akan semakin parah dan sistemik jika juga berimbas pada bank-bank BUMN. Hingga akhir Desember 2024, aset keempat bank tersebut mencapai Rp5.276 triliun atau 42 persen dari total aset perbankan nasional. Angka tersebut setara dengan sepertiga total aset sektor keuangan Indonesia. Jika salah satu saja dari bank BUMN tersebut bangkrut, sistem keuangan nasional pun bisa kolaps.

Prabowo harus menghentikan cara memerintahnya yang seakan mengulang cara pengelolaan bank sebelum krisis ekonomi 1998, saat para taipan menjadikan bank sebagai mesin uang untuk mendanai bisnis mereka secara gegabah, sehingga bank tersebut kolaps dan memicu gejolak ekonomi. Kini pemerintah menjadi aktor dengan dalih kepentingan pembangunan. Prabowo saat ini tengah menggali kubur bagi perekonomian nasional, dan juga pemerintahannya.