BACA BERITA

Dampak Negatif Impor Mobil Listrik bagi Produsen Lokal

Author: matauang Category: Otomotif
Matauang.com - Kebijakan insentif impor mobil listrik murni atau Battery Electric Vehicle (BEV) dari pemerintah dijadwalkan berakhir pada 31 Desember 2025. Setelah masa tersebut, pabrikan diwajibkan untuk memproduksi unit kendaraan listrik di dalam negeri sebanyak jumlah yang mereka datangkan melalui skema impor. Namun, wacana perpanjangan insentif ini menimbulkan pro dan kontra, terutama dari kalangan pengamat industri otomotif.

Menurut Riyanto, pengamat otomotif sekaligus peneliti LPEM FEB UI, perpanjangan kebijakan ini justru berpotensi memperkuat dominasi produk impor di pasar Indonesia. Jika hal ini terjadi, maka langkah untuk mengoptimalkan produksi kendaraan listrik dalam negeri akan semakin sulit terwujud.

Lonjakan impor mobil listrik menunjukkan bahwa Indonesia semakin bergantung pada produk rakitan luar negeri. Padahal, kapasitas produksi dalam negeri masih jauh dari optimal. Kondisi ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan pasar yang merugikan produsen lokal.

Lebih jauh, dominasi produk impor dapat menghambat pembangunan ekosistem kendaraan listrik domestik. Dengan jumlah mobil impor yang lebih banyak, pabrik-pabrik lokal kesulitan mengoperasikan kapasitas produksinya secara maksimal.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 6 Tahun 2022, target produksi mobil listrik nasional adalah 400.000 unit per tahun pada 2025, meningkat menjadi 600.000 unit pada 2030, dan mencapai 1 juta unit pada 2040. Jika insentif impor terus diperpanjang, pencapaian target tersebut akan terancam gagal.

Beberapa produsen otomotif sudah menanamkan investasi besar untuk mendirikan fasilitas produksi di Indonesia. Namun, jika pasar lebih banyak diisi produk impor, maka kapasitas produksi pabrik lokal tidak akan termanfaatkan secara maksimal. Kondisi ini tentu berisiko membuat investasi yang ada tidak memberikan keuntungan sesuai harapan.

Selain itu, menurut Riyanto, perpanjangan insentif impor juga dapat menurunkan kredibilitas kebijakan pemerintah. Investor bisa menilai adanya ketidakkonsistenan antara dukungan terhadap industri lokal dengan kemudahan yang diberikan kepada produk impor. Hal ini dapat membuat investor berpikir ulang sebelum menambah investasi baru di sektor otomotif nasional.

Di pasar, persaingan harga mobil listrik sejatinya wajar jika dilakukan melalui skema promosi, seperti diskon atau paket penjualan menarik. Namun, jika kebijakan pemerintah justru lebih menguntungkan produk impor, maka produsen lokal yang sudah berinvestasi besar akan dirugikan.

Saat ini, produsen asing seperti Hyundai bahkan tidak hanya menyasar segmen menengah ke atas, tetapi juga berupaya masuk ke pasar lebih luas. Dengan kehadiran insentif impor, mereka bisa menjual produk dengan harga lebih kompetitif dibandingkan produk lokal.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka persaingan yang tidak seimbang akan menurunkan minat investor untuk menanamkan modal lebih jauh. Pada akhirnya, hal ini dapat memperlambat pertumbuhan industri kendaraan listrik nasional yang tengah dirintis.

Riyanto menegaskan bahwa kebijakan insentif impor sebaiknya tidak diperpanjang. Pemerintah harus fokus mendorong produsen lokal untuk meningkatkan skala ekonomi secara bertahap. Dengan begitu, target produksi nasional bisa tercapai, investasi yang sudah masuk bisa termanfaatkan optimal, dan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia bisa berkembang lebih sehat.

Jika pemerintah tetap memperpanjang insentif impor, maka risiko yang dihadapi bukan hanya stagnasi produksi lokal, tetapi juga melemahnya daya saing industri otomotif Indonesia di tengah derasnya arus kendaraan listrik global.