Harga Minyak Dunia Terancam Naik Tajam
Pasar global bersiap untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi, seiring dengan dampak serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran. Para pelaku pasar khawatir bahwa harga minyak mentah dapat melonjak tajam, bahkan diperkirakan bisa mencapai USD 130 per barel, suatu angka yang dapat memperburuk tekanan inflasi global.
Saat ini, harga minyak mentah Brent tercatat di sekitar USD 79,04 per barel, yang mencatatkan kenaikan hampir 20 persen dalam sebulan terakhir. Para analis dari JPMorgan memperkirakan, dalam skenario terburuk, harga bisa mencapai titik tertinggi di sekitar USD 130 per barel.
Ketidakpastian Geopolitik Memicu Lonjakan Harga
Mark Spindel, analis dari Potomac River Capital, menyebutkan bahwa ketidakpastian mengenai reaksi Iran terhadap serangan tersebut, serta kemungkinan kerusakan pada fasilitas strategis yang diserang, menjadi faktor utama yang meningkatkan risiko lonjakan harga energi. Selain itu, dampak dari lonjakan harga minyak juga diperkirakan akan memperburuk inflasi global yang sudah tinggi, berpotensi merusak daya beli masyarakat di berbagai negara.
“Lonjakan harga energi ini berisiko memperburuk inflasi global, yang pada gilirannya bisa menekan kebijakan suku bunga bank sentral di berbagai negara, terutama The Federal Reserve di Amerika Serikat,” ujar Spindel.
Potensi Gangguan Pasokan dan Reaksi Iran
Selat Hormuz, jalur perdagangan penting yang melintasi kawasan Teluk, terancam menjadi titik panas baru dalam ketegangan ini. Setiap harinya, lebih dari 20 juta barel minyak mentah melewati selat ini, termasuk dari negara-negara penghasil besar seperti Arab Saudi, Irak, dan Iran. Apabila Iran benar-benar menutup Selat Hormuz sebagai bentuk balasan, pasar global akan menghadapi gangguan besar dalam pasokan energi.
"Penutupan Selat Hormuz akan langsung memengaruhi pasokan energi dunia. Efeknya bisa terasa di setiap pom bensin, dari Jakarta hingga London," kata James Martens, analis energi dari Global Risk Insights.
Inflasi dan Dampaknya pada Ekonomi Global
Harga energi yang semakin melambung berpotensi memicu inflasi tinggi, yang dapat memperburuk kestabilan ekonomi global. Negara-negara yang sangat bergantung pada impor energi, seperti negara-negara Eropa dan Asia, akan merasakan dampaknya. Selain itu, ketidakpastian geopolitik ini diperkirakan akan memperburuk volatilitas pasar, terutama di pasar saham dan nilai tukar mata uang negara berkembang.
Bursa saham global diperkirakan akan mengalami tekanan, sementara nilai tukar di negara-negara berkembang dapat melemah karena sentimen negatif dari investor yang khawatir dengan ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah. Gangguan pasokan energi dan logistik bisa membuat sejumlah perusahaan pelayaran internasional mengalihkan rute atau menunda pengiriman, yang akan memperburuk masalah pada rantai pasokan global.
Perubahan Dinamika Pasar Energi Global
Lonjakan harga minyak mentah ini bukan hanya akan mempengaruhi sektor energi, tetapi juga berdampak pada harga produk turunan seperti solar dan avtur. Di Eropa, harga jet fuel diperkirakan melonjak hingga 45 persen, sementara harga solar mengalami kenaikan 60 persen.
Analis Goldman Sachs memperingatkan bahwa lonjakan harga energi ini akan menambah tekanan inflasi, terutama di negara-negara yang bergantung pada energi impor, mempengaruhi kebijakan ekonomi global dalam beberapa bulan ke depan.
Menanti Reaksi Lanjutan dari Iran
Seluruh dunia kini menanti reaksi lebih lanjut dari Iran, yang berjanji akan membalas serangan tersebut. Jika ketegangan semakin meningkat, volatilitas pasar energi diperkirakan akan semakin parah, yang mengancam kestabilan ekonomi global. Pasar akan terus berfluktuasi tergantung pada keputusan kebijakan luar negeri AS, serta dinamika hubungan antara negara-negara besar lainnya yang terlibat.
Dengan ketegangan ini, pasar global perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan gangguan signifikan yang dapat memengaruhi harga energi dan stabilitas ekonomi di seluruh dunia.