Matauang.com, Jakarta - Pemerintah berencana mengenakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 12 persen pada berbagai sektor, termasuk pendidikan, khususnya jasa pendidikan berstandar internasional. Kebijakan ini rencananya akan mulai berlaku pada Januari 2025. Namun, rencana tersebut menuai kritik, salah satunya dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof. Agus Sartono. Menurut Agus, pengenaan pajak pada sektor pendidikan tidak tepat dan harus dibatalkan.
Agus Sartono mengatakan, kehadiran mahasiswa asing di Perguruan Tinggi Badan Hukum atau PTNBH juga memiliki peran strategis dalam jangka panjang. Selain mendorong ekspor jasa pendidikan, hal itu juga berpotensi melahirkan para Indonesianis yang berperan penting dalam membangun hubungan bilateral antarnegara.
"Oleh karena itu, rencana pengenaan PPN sebesar 12 persen terhadap pendidikan bertaraf internasional sangat tidak tepat dan harus dibatalkan," kata Agus yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinator Bidang Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010-2014) dan Deputi Bidang Koordinator Bidang Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2014-2021).
Agus menilai pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang tidak seharusnya dikenai pajak. Jika dipaksakan, hal itu berpotensi memperburuk akses pendidikan tinggi sehingga Indonesia semakin tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya. Ia menegaskan, jika pemerintah mampu menekan kebocoran anggaran dan korupsi, dana tersebut cukup untuk membiayai investasi di sektor sumber daya manusia. Mengabaikan sektor pendidikan, menurutnya, hanya akan membuat Indonesia semakin terpuruk di masa mendatang.
"Pendidikan adalah investasi jangka panjang dan tidak boleh dikenai pajak. Kalau saja kebocoran dan korupsi bisa ditekan, itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai investasi di bidang sumber daya manusia. Kalau sektor pendidikan kita abaikan, tinggal menunggu waktu saja kita akan semakin terpuruk," katanya, dikutip dari situs UGM.
Selain itu, Agus menegaskan kebijakan PPN ini tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong pendidikan bertaraf internasional. Di sisi lain, PTNBH telah lama mengembangkan International Undergraduate Program (IUP).
Program ini tidak hanya memberikan kontribusi finansial kepada PTN H, tetapi juga menarik minat mahasiswa asing melalui program pertukaran pelajar. Keunggulan lain dari IUP adalah memungkinkan subsidi silang untuk membantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu, sehingga mereka dapat mengakses pendidikan tinggi yang bermutu.
Agus juga menekankan pentingnya kehadiran mahasiswa asing di PTN BH. Kehadiran mereka tidak hanya mendorong ekspor jasa pendidikan, tetapi juga menciptakan potensi jangka panjang. Mahasiswa asing ini dapat menjadi Indonesianis, pribadi yang memahami dan mendukung Indonesia di kancah internasional, serta berkontribusi bagi hubungan bilateral antarnegara.
Sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama di Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010–2014) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2014–2021), Agus menyatakan pengenaan pajak pada sektor pendidikan datang di saat yang tidak tepat. Indonesia masih menghadapi tantangan besar terkait akses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan pada tahun 2025, penduduk usia 19–23 tahun akan mencapai 27,39 juta jiwa.
Sementara itu, target Angka Partisipasi Bruto (APK) pendidikan tinggi sebesar 35 persen yang berarti jumlah mahasiswanya mencapai 9,58 juta orang. Hal ini mengindikasikan pemerintah harus menambah daya tampung pendidikan sebanyak 1,27 juta mahasiswa lagi. Dalam situasi ini, Agus mempertanyakan logika kebijakan PPN sebesar 12 persen . Menurutnya, langkah ini justru menambah beban ketika seharusnya pemerintah fokus pada peningkatan akses pendidikan. Selain akses, Agus juga menyoroti tantangan terkait relevansi pendidikan dengan kebutuhan industri. Ia mempertanyakan apakah kebijakan ini akan memperburuk masalah ketenagakerjaan mengingat banyak lulusan perguruan tinggi yang belum terserap dunia kerja. Menurutnya, kebijakan pengenaan pajak ini selain kontraproduktif juga berisiko menghambat upaya peningkatan mutu dan akses pendidikan di Indonesia.