Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaporkan bahwa hingga 24 Oktober 2024, sebanyak 59.764 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini diperkirakan akan terus meningkat setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang pada 21 Oktober.
Data PHK Berdasarkan Provinsi
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menyebutkan bahwa mayoritas PHK terjadi di tiga provinsi utama. "PHK terbanyak terjadi di DKI Jakarta dengan 14.501 orang, diikuti oleh Jawa Tengah dengan 11.252 orang, dan Provinsi Banten mencapai 10.254 orang," ujarnya.
Sektor yang Terdampak
Sektor yang paling terdampak oleh gelombang PHK ini adalah industri pengolahan, dengan 25.873 tenaga kerja terlibat. Sektor jasa lainnya menyusul dengan 15.218 pekerja, dan perdagangan besar serta eceran mencatat 10.254 pekerja.
Faktor Penyebab PHK
Indah mengidentifikasi beberapa faktor penyebab PHK yang terus terjadi di berbagai daerah, antara lain:
- Melemahnya ekspor produk tekstil dan garmen.
- Efisiensi perusahaan akibat ketatnya persaingan global.
- Perubahan cara pemasaran dan penjualan akibat digitalisasi.
- Masuknya impor garmen ilegal.
Dampak Pailit Sritex
Ancaman PHK bagi karyawan Sritex menjadi sorotan setelah perusahaan dinyatakan pailit. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Ristadi, menjelaskan bahwa pailitnya Sritex sangat mempengaruhi nasib ribuan pekerja.
"Ada dua skenario utama yang mungkin terjadi. Pertama, pekerja yang ada mungkin akan dipekerjakan kembali, tetapi dengan masa kerja yang di-reset menjadi nol atau dengan sistem kontrak," katanya.
Namun, skenario lain yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan pemilik baru tidak menggunakan tenaga kerja yang ada. "Mereka mungkin lebih memilih fresh graduate, yang tentu berdampak pada PHK bagi pekerja lama," tambahnya.
Masalah Pembayaran Pesangon
Selain ancaman PHK, isu pembayaran pesangon juga menjadi perhatian. KSPN menyatakan bahwa Sritex memiliki utang sekitar Rp25 triliun, sementara asetnya hanya bernilai Rp15 triliun. "Selisih utang ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pekerja yang ter-PHK tidak akan mendapatkan pesangon sesuai aturan yang berlaku," ujar Ristadi.
Ia menambahkan bahwa dalam beberapa kasus pailit yang ditanganinya, pekerja hanya menerima sekitar 2,5 persen dari pesangon yang seharusnya. "Situasi ini sangat memprihatinkan, bahkan ada kasus di mana pekerja tidak mendapatkan pesangon sama sekali," katanya.
Upaya Hukum Sritex
Saat ini, Sritex masih berupaya mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Haryo Ngadiyono, GM HRD Sritex Group, menyatakan bahwa operasional perusahaan masih berjalan dan pihaknya belum mengambil langkah PHK massal. "Kami sudah melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung. Manajemen tidak akan melakukan PHK massal selama upaya hukum masih bisa ditempuh," ungkap Haryo.