Jakarta, matauang.com - Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M Rachbini mengatakan, nilai utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun 2025 mencapai Rp 800 triliun. Eisha menuturkan, pemerintahan selanjutnya yang dipimpin pasangan presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka harus mewaspadai penggunaan anggaran untuk program-program jumbo.
"Tahun depan akan ada jatuh tempo utang di tahun 2024, dan juga 2025 yang rasanya kita lihat ya 2024 ini bisa sampai Rp 400 triliun, sedangkan 2025 ini bisa sampai Rp 800 triliun. Ini sebenarnya perlu kewaspadaan di tengah-tengah dari program pemerintah yang fantastis jumbo," kata Eisha dalam diskusi bertajuk "Warisan Utang untuk Pemerintah Mendatang" di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Menurut dia, program jumbo ditambah utang jatuh tempo akan memengaruhi defisit APBN yang semakin melebar.
"Pembiayaan (utang) nanti dari mana? Ditutup lagi bisa jadi dengan utang baru, ini bikin kita jadi enggak bisa lepas dari utang," ujarnya.
Lebih lanjut, Eisha mengatakan, pemerintah menargetkan defisit APBN pada 2025 sebesar 2,8 persen. Hal ini, kata dia, perlu diwaspadai seiring dengan ketidakpastian ekonomi global yang dapat mempersempit ruang fiskal.
"Terlebih dengan porsi pembayaran bunga utang yang besar pada komposisi belanja. Sementara porsi belanja modal semakin turun. Selain itu, kualitas belanja APBN perlu memberikan dampak pada sektor produktif pada ekonomi sehingga mendorong penerimaan negara," ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, tingginya nilai utang yang bakal jatuh tempo dalam waktu dekat bermula dari keputusan pemerintah menarik utang secara signifkan pada 2020, ketika pandemi Covid-19 merebak.
Pada saat itu pemerintah membutuhkan pembiayaan sekitar Rp 1.000 triliun untuk merespons pendapatan negara yang turun signifikan.
Oleh karenanya, pada 2020 pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat untuk melakukan penerbitan utang dengan skema burden sharing.
Lewat skema itu, pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) dengan tenor maksimal 7 tahun.
"Jadi kalau tahun 2020 (diterbitkan), maksimal jatuh tempo pandemi di 7 tahun, dan ini memang konsentrasi terakhir di (tahun) 5, 6, 7 , sebagian 8," ujar Sri Mulyani, dalam Rapat Bersama Komisi XI DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
"Inilah yang kemudian menimbulkan persepsi banyak sekali utang numpuk, karena itu adalah biaya pandemi yang mayoritas kita issues surat utangnya berdasarkan agreement," sambungnya. Meskipun nilai utang yang bakal jatuh tempo "menumpuk", Sri Mulyani mengaku tidak ambil pusing.
Sebab, kondisi perekonomian dan APBN masih terjaga, sehingga menjaga persepsi positif investor terhadap SUN. Dengan persepsi yang masih positif, investor diyakini tidak akan langsung menarik dananya dari SUN RI. Alih-alih mengambil keuntungannya, investor diyakini kembali melakukan investasi di instrumen SUN.