Rupiah bergerak stagnan pada hari ini, Selasa (3/8/2024) pasca dihantam dua kabar buruk yaitu deflasi empat bulan beruntun dan kontraksi industri manufaktur.
Melansir Refinitiv, mata uang Garuda ditutup di posisi Rp15.520/US$, tidak berubah dibandingkan harga sehari sebelumnya.
Sementaran itu, indeks dolar AS (DXY) mengalami kenaikan tipis sebesar 0,02% ke titik 101,67.
Pergerakan nilai tukar rupiah sejauh ini masih dipengaruhi Indeks Harga Konsumen (IHSG) yang melemah diikuti kontraksi terhadap kondisi manufaktur.
PMI Manufaktur turun menjadi 49,3 pada Juli dan 48,9 pada Agustus 2024, angka terendah sejak Agustus 2021, yang menunjukkan tekanan berat pada sektor manufaktur, pilar utama ekonomi Indonesia.
Dengan semakin dekatnya akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, kontraksi ini meningkatkan kekhawatiran akan kemungkinan penurunan kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Hal tersebut semakin ditambah dengan deflasi selama empat bulan berturut-turut. Pada Agustus 2024, IHK mencatat deflasi sebesar 0,03% secara bulanan, sementara inflasi tahunan hanya mencapai 2,12%.
Penurunan IHK ini mencerminkan penurunan daya beli masyarakat, yang dapat berdampak negatif pada sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik, dan memperburuk sentimen pasar terhadap rupiah.
Penurunan konsumsi juga tercermin dalam penurunan harga di sektor komunikasi dan jasa keuangan, yang terus turun pada tingkat yang konsisten sebesar -0,16%.
Kondisi ini semakin memperparah pelemahan rupiah, karena daya beli yang lemah tidak mampu memberikan dukungan yang memadai terhadap mata uang domestik.
Sementara itu, dari sisi eksternal, tekanan dari menguatnya indeks dolar AS dan US Treasury masih berlanjut selama beberapa hari terakhir.
Kenaikan imbal hasil US Treasury dengan tenor 10 tahun ke level 3,91% menarik investor untuk mengalihkan dana mereka ke aset yang lebih aman di ASt, yang berpotensi memicu arus keluar modal dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Tekanan tambahan terhadap rupiah juga datang dari kondisi ekonomi AS dan China. PMI Manufaktur AS turun ke 48 pada Agustus 2024, menandakan kontraksi lebih lanjut dalam aktivitas manufaktur, sementara PMI Manufaktur Umum Caixin di China hanya naik tipis ke 50,4, menunjukkan ekspansi yang sangat moderat.