BACA BERITA

Pakar Nilai Koruptor Tak Cukup Dipenjara, Dorong RUU Perampasan Aset

Author: matauang Category: Politik
MATAUANGSLOT - Sejumlah kasus korupsi dengan kerugian negara capai triliunan belakangan banyak terungkap oleh penegak hukum. Salah satunya yakni yang tengah diusut Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi tata kelola minyak mentah sebesar Rp 193,7 triliun.
Pakar Hukum Hardjuno Wiwoho menilai ada satu instrumen hukum yang dapat menjadi solusi ampuh bagi tindak pidana korupsi, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Dia menilai RUU tersebut tidak bisa ditunda lagi.

"Saya kira, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU harga mati. Tidak boleh ditunda lagi," ujar Hardjuno dalam keterangannya, Rabu (5/3/2025).


Dia menilai perampasan aset salah satu cara paling efektif untuk memberikan efek jera kepada para koruptor. Menurutnya, para koruptor tak cukup dengan dipenjara.

"Kalau hanya mengandalkan hukuman penjara, tidak akan cukup. Kita sudah lihat banyak kasus, koruptor yang divonis bersalah tetap bisa hidup nyaman setelah keluar dari tahanan karena aset mereka tidak tersentuh. Oleh sebab itu, perampasan aset harus menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi," ujar Hardjuno.

Dia menjelaskan strategi pemberantasan korupsi harus berjalan dalam tiga aspek utama, yakni pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset. Selama ini, kata dia, aspek pemulihan aset sering kali terabaikan karena mekanisme hukum yang berbelit.

"Proses pemulihan aset hasil korupsi masih bergantung pada mekanisme konvensional yang berbasis putusan pidana. Artinya, penegak hukum baru bisa menyita aset setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Masalahnya, proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, memberi celah bagi koruptor untuk menghilangkan atau menyamarkan aset mereka," jelasnya.

Hardjuno menambahkan RUU Perampasan Aset membawa terobosan penting dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa perlu menunggu putusan pidana. Model ini telah diterapkan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dengan Civil Asset Forfeiture dan Inggris melalui Proceeds of Crime Act.

"RUU ini akan memungkinkan negara menyita aset koruptor sejak penyidikan, selama ada bukti yang cukup bahwa kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana. Selain itu, ada juga konsep illicit enrichment, di mana pejabat yang hartanya meningkat secara tidak wajar bisa langsung diperiksa dan asetnya disita bila tidak bisa membuktikan asal-usulnya secara sah," kata Hardjuno.

Meski sudah lama diwacanakan, pembahasan RUU Perampasan Aset terus mengalami jalan buntu. Pemerintah telah mengajukan rancangan aturan ini sejak 2003 sebagai inisiatif dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, hingga kini, RUU tersebut masih belum masuk ke tahap pembahasan di DPR secara serius.

"Mandeknya RUU Perampasan Aset ini bukan tanpa alasan. Ada indikasi kuat bahwa kepentingan elite politik ikut bermain. Bagaimana mungkin aturan yang bisa memiskinkan koruptor ini akan disahkan dengan mudah, sementara banyak elite yang mungkin saja terdampak?" tegas Hardjuno.

Ia juga menggarisbawahi fakta selama ini banyak kasus korupsi yang berkaitan erat dengan sumber daya alam, seperti kasus PT Timah dan skandal tata kelola pertambangan lainnya. "Korupsi di sektor sumber daya alam ini ironis. Kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat malah dikuasai oleh segelintir orang. Kalau RUU Perampasan Aset disahkan, ini bisa menjadi langkah strategis untuk mengembalikan aset negara yang telah dijarah," imbuhnya.