Matauang.com - Strategi potongan harga besar-besaran yang diterapkan oleh sejumlah produsen mobil asal China di
pasar otomotif Indonesia memang terbukti mendorong angka penjualan secara signifikan dalam jangka pendek. Namun, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, memperingatkan bahwa langkah agresif ini bisa menjadi bumerang bagi citra merek (brand value) dalam jangka panjang.
Menurut Yannes, diskon besar memang menjadi magnet kuat untuk menarik minat konsumen. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah merek asal China berhasil membuat gebrakan di pasar nasional, bahkan memaksa merek-merek Jepang menyesuaikan strategi harga mereka. Namun, ia menekankan bahwa strategi ini bukan tanpa risiko. “Diskon yang semakin agresif ini berpotensi mengikis citra merek. Konsumen bisa mulai mengaitkan produk dengan kualitas rendah, dan ini akan menyulitkan brand tersebut untuk masuk ke segmen premium,” kata Yannes.
Perang Harga Tak Menjamin Keberlanjutan
Praktik diskon besar-besaran, jika diterapkan terus-menerus, bisa berdampak serius terhadap ekosistem industri otomotif secara keseluruhan. Yannes menyebut bahwa perang harga akan menipiskan margin keuntungan produsen, yang pada akhirnya akan memengaruhi seluruh rantai pasok, termasuk para pemasok komponen di level tier 2 dan tier 3. “Ini bukan hanya persoalan brand image, tetapi juga ancaman terhadap keberlangsungan bisnis pemasok, mitra kerja, hingga jaringan dealer,” ujarnya.
Lebih dari itu, kondisi semacam ini juga bisa menumbuhkan perilaku konsumtif yang menunggu diskon lebih besar, alias efek wait and see dari calon pembeli. Konsumen akan cenderung menunda pembelian dengan harapan harga mobil bisa turun lebih jauh di waktu mendatang. “Akhirnya, pasar bisa dipenuhi oleh mobil baru stok lama yang dijual layaknya mobil bekas—fenomena yang disebut sebagai pasar ‘0 KM bekas’,” jelas Yannes.
Brand Value Bisa Tergerus
Citra merek atau brand value merupakan salah satu aset terpenting dalam membangun loyalitas dan ekspektasi konsumen terhadap kualitas dan pengalaman pengguna. Ketika sebuah brand terlalu sering memberikan potongan harga ekstrem, konsumen bisa menganggap produk tersebut tidak memiliki nilai jual yang solid. “Citra mobil murah bisa menempel kuat dan sulit diubah, bahkan jika kelak brand itu ingin menjual model premium,” tutur Yannes.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa strategi diskon tidak berkelanjutan secara ilmiah dan bisnis. Tanpa adanya dukungan dari ekosistem otomotif yang matang, praktik semacam ini justru bisa menciptakan instabilitas pasar dan memperparah persaingan yang tidak sehat. “Dalam jangka panjang, brand akan kehilangan nilainya, dan stabilitas industri bisa terganggu,” pungkasnya.
Keseimbangan Strategi dan Kualitas
Yannes menyarankan agar produsen otomotif, khususnya dari China, mulai mengalihkan fokus ke strategi jangka panjang seperti membangun layanan purnajual, meningkatkan kualitas produk, memperkuat jaringan servis, serta menjaga keseimbangan antara harga dan citra merek. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, brand akan mampu bertahan dan tumbuh sehat di pasar Indonesia yang semakin kompetitif.