Jakarta, Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang disebut sebagai tarif resiprokal menuai sorotan tajam. Pasalnya, kesepakatan ini justru dianggap merugikan Indonesia karena produk asal Amerika masuk dengan tarif 0 persen, sementara produk ekspor Indonesia ke Amerika dikenai tarif hingga 19 persen.
Menurut Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), situasi ini bukan hanya soal angka dagang, tetapi menyangkut kedaulatan ekonomi nasional.
Dampak Serius pada Energi Nasional
Salah satu contoh paling nyata adalah sektor energi, khususnya impor LPG. Sebelumnya, impor LPG dikenai tarif 4,61 persen. Namun, dengan aturan baru, tarif tersebut dihapus sehingga negara kehilangan potensi penerimaan bea masuk.
Lebih jauh lagi, Indonesia juga berkomitmen menaikkan porsi pasokan LPG dari Amerika, dari 54 persen menjadi 85 persen. Hal ini bisa membuat Indonesia semakin bergantung pada suplai energi dari luar negeri, alih-alih memperkuat kapasitas produksi energi dalam negeri.
Sektor Pangan Juga Terguncang
Dampak serupa terjadi di sektor pangan, terutama kedelai. Saat ini, 83 persen kebutuhan kedelai Indonesia dipasok dari Amerika. Dengan pasar yang semakin terbuka bagi produk impor, posisi petani lokal semakin tersisih. Kondisi ini bukan hanya berpengaruh pada ekonomi, tetapi juga menimbulkan risiko terhadap ketahanan pangan nasional.
Kedaulatan Bangsa Jadi Taruhan
Energi dan pangan bukan sekadar komoditas, melainkan sektor strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat. Suroto menegaskan, seharusnya tarif perdagangan digunakan untuk melindungi sektor ini, bukan justru melemahkannya.
Ia menyarankan bila tarif nol persen diterapkan, sebaiknya berlaku untuk barang modal yang mendukung pertanian, energi terbarukan, dan teknologi pangan, bukan untuk komoditas yang membuat Indonesia semakin bergantung pada luar negeri.
Kritik atas Diplomasi Dagang
Kesepakatan tarif resiprokal ini disebut sebagai kegagalan diplomasi dagang, karena lebih banyak menguntungkan Amerika Serikat ketimbang Indonesia.
“Resiprokal seharusnya berarti saling menguntungkan. Tapi dalam kasus ini, Indonesia justru dirugikan,” tegas Suroto.
Perlindungan Ekonomi Lokal
Melindungi ekonomi domestik bukan berarti menolak perdagangan bebas. Sebaliknya, ini adalah bentuk keberpihakan pada rakyat, petani, pelaku usaha lokal, dan kedaulatan bangsa sendiri.