BACA BERITA

Skorsing PM Thailand: Skandal Panggilan Telepon yang Mengubah Segalanya

Author: matauang Category: Politik
Pada Selasa (1/7/2025), Mahkamah Konstitusi Thailand resmi menangguhkan jabatan Perdana Menteri (PM) Paetongtarn Shinawatra setelah sebuah rekaman panggilan teleponnya dengan mantan PM Kamboja, Hun Sen, bocor ke publik. Rekaman berdurasi 9 menit tersebut memicu kontroversi besar di Thailand, terutama terkait dengan dugaan pelanggaran etika dalam menangani ketegangan diplomatik dengan Kamboja.

Pernyataan yang dibuat oleh Paetongtarn dalam panggilan itu dianggap merusak citra nasionalisme Thailand dan mengkritik pihak militer yang selama ini memiliki pengaruh besar dalam politik negara. Protes besar dari kelompok nasionalis pun tidak terelakkan, dan situasi ini segera mengancam posisi politik PM yang baru menjabat itu.

Kronologi Skandal Panggilan Telepon yang Mengguncang Thailand

Kejadian ini bermula pada 15 Juni 2025, saat Paetongtarn melakukan panggilan pribadi dengan Hun Sen untuk meredakan ketegangan yang terjadi di perbatasan Thailand-Kamboja. Ketegangan ini dipicu oleh bentrokan bersenjata yang terjadi pada 28 Juni, yang mengakibatkan seorang prajurit Kamboja tewas. Namun, beberapa hari setelahnya, pada 18 Juni 2025, rekaman percakapan telepon itu bocor dan dipublikasikan oleh Hun Sen.

Dalam rekaman tersebut, Paetongtarn dengan santai menyebut Hun Sen sebagai "paman", mengkritik salah satu jenderal Thailand sebagai "lawan", serta mengatakan bahwa rakyat Thailand bahkan menyarankannya untuk pindah ke Kamboja. Pernyataan ini memicu kemarahan di kalangan warga nasionalis Thailand dan langsung memunculkan gelombang protes.

Pada malam itu juga, partai koalisi utama, Bhumjaithai, mengumumkan pengunduran dirinya, yang membuat posisi Paetongtarn di parlemen semakin terancam. Keputusan partai ini menambah ketegangan politik di negara yang sudah mengalami ketidakstabilan dalam beberapa tahun terakhir.

Reaksi PM dan Konsekuensi Hukum

Pada 19 Juni 2025, Paetongtarn menggelar konferensi pers bersama militer dan Kementerian Luar Negeri untuk meminta maaf kepada publik. Dalam pernyataannya, ia mengaku bahwa panggilan tersebut dimaksudkan untuk meredakan ketegangan di perbatasan, tetapi ia tetap menegaskan bahwa dirinya tidak berniat mundur dari jabatannya. PM Shinawatra juga menyatakan siap bekerja sama dengan proses hukum yang sedang berjalan.

Namun, langkah ini tidak menghentikan krisis kepercayaan publik terhadap dirinya. Menurut para analis politik, insiden ini menjadi ujian terbesar bagi dinasti politik Paetongtarn sejak kudeta militer tahun 2014. Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Paetongtarn melanggar konstitusi atau etika publik, ia berisiko mendapat sanksi berat, yang termasuk larangan untuk terlibat dalam kegiatan politik untuk waktu yang lama.

Menggugat Ketahanan Demokrasi Thailand

Banyak pihak yang menilai bahwa insiden ini mencerminkan betapa rapuhnya sistem demokrasi Thailand, yang masih dibayangi oleh pengaruh kuat militer dan manuver politik dari dinasti keluarga Shinawatra. Profesor Chaiwat dari Universitas Thammasat menyatakan bahwa situasi ini menunjukkan ketidakstabilan politik yang bisa mengarah pada ketegangan lebih lanjut di negara tersebut.

Sementara itu, keputusan Mahkamah Konstitusi sangat dinantikan, karena ini akan menentukan langkah politik selanjutnya di Thailand. Pemerintah transisi, yang kini dipimpin oleh Deputi PM Suriya Juangroongruangkit, terus menjalankan administrasi negara meskipun berada dalam ketidakpastian politik.

Refleksi Terhadap Sejarah Politik Thailand

Skorsing Paetongtarn ini mengingatkan publik Thailand pada sejarah politik negara tersebut, di mana dalam dua dekade terakhir, kekuasaan sering berakhir di tangan militer atau lembaga yudisial, bukan melalui proses elektoral yang demokratis. Keputusan Mahkamah nanti akan sangat menentukan apakah Thailand akan terus berjuang untuk memperkuat sistem demokrasinya atau malah kembali ke kontrol militer yang telah mengubah lanskap politik negara tersebut.